IKNPOS.ID – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, secara tegas melarang para siswa untuk bermain game daring populer, Roblox.
Pernyataan ini dilontarkan menyusul keprihatinannya terhadap maraknya konten kekerasan dan penggunaan bahasa yang tidak pantas dalam platform tersebut, yang dinilai dapat memberikan dampak buruk bagi perkembangan mental dan intelektual anak.
Dalam kunjungannya ke salah satu Sekolah Dasar di Jakarta, Mendikdasmen menyoroti temuannya bahwa banyak siswa yang menghabiskan waktu bermain game tersebut.
“Tadi yang blok, blok tadi itu jangan main yang itu karena itu tidak baik ya,” ujar Abdul Mu’ti merujuk pada Roblox.
Menurutnya, anak-anak pada usia sekolah dasar merupakan peniru ulung dan rentan menirukan adegan kekerasan yang mereka saksikan dalam game.
“Kalau di game itu dibanting, itu kan tidak apa-apa orang dibanting di game. Kalau dia main dengan temennya, kemudian temennya dibanting, kan jadi masalah,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya peran orang tua dalam mendampingi dan mengawasi aktivitas anak di dunia maya.
“Tolonglah kami dibantu untuk diberikan anak-anak kita ini layanan yang mendidik, jangan layanan yang dapat merusak mental dan juga merusak intelektual mereka,” imbaunya kepada para orang tua dan penyedia layanan digital.
Tanggapan Psikolog Anak
Menanggapi larangan dan kekhawatiran tersebut, psikolog anak Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi, M.Psi, yang kerap membahas isu seputar anak dan keluarga, memberikan pandangannya.
Menurutnya, kekhawatiran yang diungkapkan oleh Mendikdasmen memiliki dasar yang kuat dari sisi psikologi perkembangan anak.
“Anak-anak, terutama pada usia sekolah dasar, masih dalam tahap perkembangan moral dan empati. Paparan konten kekerasan yang berulang, meskipun dalam bentuk virtual, dapat menyebabkan desensitisasi atau menurunnya kepekaan mereka terhadap kekerasan di dunia nyata,” jelas Vera saat dihubungi Disway.id, dikutip Selasa 5 Agustus 2025.
Ia menambahkan bahwa game seperti Roblox, dengan fitur interaksi sosialnya yang luas, juga membuka celah bagi risiko lain seperti perundungan siber (cyberbullying) dan paparan terhadap konten seksual yang tidak sesuai dengan usia anak.