Untuk 71,9 juta siswa dan santri di seluruh Indonesia
Belanja Pembiayaan: Rp 37 triliun
Beasiswa LPDP untuk 4.000 mahasiswa
452 riset
Dukungan 21 PTN BH eksisting + 2 PTN BH baru
Revitalisasi 11.686 sekolah
Kritik: Guru Masih Belum Jadi Prioritas?
Kenaikan anggaran ini datang setelah kritik deras dari berbagai pihak. Salah satunya Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) yang menyoroti janji kampanye Presiden Prabowo Subianto soal upah minimum guru non-ASN.
Menurut P2G, pemerintah terlalu fokus pada program makan bergizi gratis (MBG) yang menyedot 44 persen anggaran pendidikan, dibanding kesejahteraan guru.
“Ingat, Prabowo-Gibran waktu kampanye pernah menjanjikan upah minimum guru non-ASN. Itu harus diwujudkan terlebih dahulu,” kata Iman Zanatul, Kepala Bidang Advokasi P2G.
Polemik Pernyataan Sri Mulyani
Sebelumnya, Sri Mulyani juga menuai kritik atas pernyataannya dalam Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia (7 Agustus 2025).
Ia menyebut gaji guru dan dosen masih rendah dan menjadi salah satu tantangan keuangan negara. Bahkan, Sri Mulyani mempertanyakan apakah seluruhnya harus ditanggung APBN atau ada ruang partisipasi masyarakat.
Komentar ini dianggap Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Fahriza Marta Tanjung, seolah-olah pemerintah sudah berusaha maksimal, padahal banyak amanah UU Guru dan Dosen yang belum terealisasi meski sudah berusia 20 tahun.
Antara Kesejahteraan Guru dan Program Populis
Dengan koreksi terbaru, anggaran pendidikan untuk guru, dosen, dan tenaga pendidik naik signifikan menjadi Rp 274,7 triliun. Namun, perdebatan belum berhenti.
Di satu sisi, kenaikan ini bisa memberi harapan baru bagi tenaga pendidik. Di sisi lain, kritik masih tajam terkait prioritas belanja, terutama karena program Makan Bergizi Gratis menyedot hampir separuh anggaran pendidikan.
Yang jelas, 2026 akan jadi tahun krusial: apakah pemerintah mampu menyeimbangkan kesejahteraan guru dan program populis tanpa mengorbankan kualitas pendidikan di Indonesia.