Ia menjelaskan bahwa Setnov bukan anggota Komisi II DPR RI yang berwenang dalam pengadaan proyek e-KTP, sehingga dakwaan yang dikenakan dianggap tidak tepat. Menurutnya, jika terbukti menerima uang, maka seharusnya dianggap sebagai gratifikasi atau suap, bukan tindak pidana korupsi proyek.
“Dia didakwa dengan pasal yang salah. Dakwaan paling tepat adalah suap. Karena tidak ada jabatan terkait pengadaan, maka seharusnya dia terima uang sebagai gratifikasi,” lanjutnya.
Putusan yang diketok oleh Majelis Hakim MA pada 4 Juni 2025 itu terdiri dari Ketua Majelis Surya Jaya, serta dua hakim anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono. Putusan tersebut tercatat dalam PK Nomor 32 PK/Pid.Sus/2020.
MA menyatakan Setya Novanto terbukti melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, dan menjatuhkan pidana penjara selama 12 tahun 6 bulan.
Selain pidana penjara, Setnov juga dijatuhi kewajiban membayar uang pengganti sebesar USD7.300.000, dikurangi dengan uang titipan sebesar Rp5 miliar kepada penyidik KPK yang telah disetorkan ke negara. Sisanya, sebesar Rp49.052.289.803, harus dibayar atau diganti dengan subsider dua tahun penjara.
Sebagai pidana tambahan, MA juga menjatuhkan hukuman pencabutan hak politik kepada Setnov, yakni larangan untuk menduduki jabatan publik selama 2 tahun 6 bulan setelah masa pemidanaan berakhir. (Anisha Aprilia)