Akhirnya sang guru ditangkap: setelah 40 tahun istrinya hilang. Setelah ia punya istri yang ketiga. Si murid sudah lama lari dari rumah sang guru –tidak tahan atas hidup dikungkung suami di rumah saja.
Kecurigaan terbesar: sang istri dikubur di pekarangan rumah. Sunyi. Rumah ini di bukit yang jalannya buntu. Apalagi ditemukan baju-baju sang istri juga terkubur di situ. DNA di baju itu sampai diperiksakan ke Texas di Amerika. Cocok dengan DNA sang istri.
Gara-gara podcast itu sang guru ditangkap. Diadili. Ia mengaku tidak bersalah. Tidak ada bukti. Pekarangan rumah digali. Tidak ditemukan apa-apa.
Yang terbukti: ia melakukan hubungan seks dengan muridnya di saat si murid berumur 15 tahun. Di zaman 40 tahun sebelum pengadilan, itu masih dianggap melanggar hukum.
Vonis Hakim dijatuhkan di tahun 2023 –40 tahun setelah hilangnya istri. Pengadilan itu berlangsung dua tahun –karena terhambat Covid-19.
Sang guru mengajukan permintaan: tidak mau pakai sistem juri. Siapa pun di Australia sudah punya kesimpulan ia-lah pembunuh sang istri –akibat kuatnya pengaruh podcast The Teacher’s Pet.
Sang guru minta pengadilannya pakai sistem hakim tunggal. Biar hakim yang memutuskan ia bersalah atau tidak.
Permintaan dipenuhi. Kali pertama sistem juri tidak dipakai atas permintaan terdakwa.
Ternyata hakim juga memutuskan ia bersalah.
Ia dijatuhi hukuman 24 tahun. Tetap tidak ditemukan di mana sang istri.
Buku itu selesai saya baca: dalam 12 jam. Pukul 05.00 harus bangun. Lalu siap-siap ke bandara, menuju Perth.
Pagi itu saya kembali memasuki terminal internasional bandara Ngurah Rai. Waktu baru dioperasikan saya pernah survei kecil-kecilan. Sembilan penumpang dari Australia saya tanya: berapa nilai bandara baru ini.
Mereka umumnya menjawab: 8 sampai 9.
Lalu saya tanya: di mana bandara di Australia yang nilainya delapan atau sembilan. Jawabnya kompak: tidak ada. Yang tertinggi hanya tujuh.
Survei itu saya maksudkan untuk membalik opini mereka bahwa dalam hal bandara Indonesia sudah lebih baik dari Australia. Fisiknya.