<div class="text-grey"> <div id="author" class="author pull-left">Oleh: <strong>Dahlan Iskan</strong></div> </div> Putusan MK pekan lalu itu final. Wakil <a href="https://disway.id/listtag/2280/menteri">menteri</a> dianggap sama dengan <a href="https://disway.id/listtag/2280/menteri">menteri</a>: dilarang rangkap jabatan. Padahal para wakil <a href="https://disway.id/listtag/2280/menteri">menteri</a> baru saja dapat jabatan rangkap: <a href="https://disway.id/listtag/48322/komisaris">komisaris</a> di <a href="https://disway.id/listtag/2642/bumn">BUMN</a>. Waktu saya mengangkat beberapa <a href="https://disway.id/listtag/21915/wakil-menteri">wakil menteri</a> sebagai komisaris motif saya dua: untuk kelancaran perizinan dan untuk menambah penghasilan mereka. Meski BUMN, kadang sulit juga mengurus izin. Biar pun permohonan izin itu sudah dilakukan lewat prosedur yang benar. Dengan mengangkat wakil menteri maka komunikasi di kementerian itu lebih mudah. Bahwa agar ada tambahan penghasilan blak-blakan: iya. Gaji wakil menteri itu kecil sekali. Kalah dengan gaji Anda. Gaji wakil menteri saat itu Rp 11 juta –gaji menteri Rp 19 juta. Begitu kecilnya. Memang angka itu tinggi di mata rakyat. Tapi gaji direktur perusahaan swasta bisa Rp 100 juta –banyak yang di atasnya. Memang untuk para menteri masih mendapat uang operasional: Rp 100 juta/bulan. Tapi harus untuk operasional. Bukan tambahan penghasilan. Sedang wakil menteri tidak mendapatkan uang operasional. Maka ada menteri yang kemudian berbagi: menyerahkan sebagian tunjangan operasional itu kepada wakil menteri. Ada yang tidak. Kini, dengan munculnya putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-XXIII/2025 wakil menteri pun tidak boleh rangkap jabatan. Ada baiknya: pemerintah sebagai regulator tidak ada hubungan apa pun dengan lembaga yang harus taat regulasi. Tinggal memikirkan bagaimana agar penghasilan mereka lebih besar. Yang dipersoalkan di medsos memang logis: di saat rakyat sulit dapat pekerjaan kok yang sudah dapat pekerjaan masih diberi rangkapan pekerjaan. Padahal kalau pun para wakil menteri tidak merangkap <a href="https://disway.id/listtag/9639/komisaris-bumn">komisaris BUMN</a>, apakah jabatan komisaris itu akan jatuh ke yang belum dapat pekerjaan itu? Yang jelas, peraturan yang berlaku sekarang: pengangkatan direksi dan komisaris perusahaan menjadi wewenang sepenuhnya pemegang saham. Itu bunyi UU PT. Di swasta maupun BUMN. Maka secara hukum suka-suka pemegang saham. Orang seperti apa pun bisa diangkat oleh pemegang saham menjadi komisaris. Tidak ada kriterianya. Yang ada hanya asas kepatutan. Tidak patut di mata Anda, bisa jadi patut di mata pemegang saham.<!--nextpage--> Pemegang saham BUMN adalah pemerintah: menteri BUMN. Kini bersama Danantara. Menteri BUMN punya atasan: presiden. Zaman saya dulu Presiden SBY tidak pernah titip siapa pun untuk jadi komisaris BUMN –saya tidak pernah bertanya kepada wakil menteri apakah pernah menerima titipan yang dimaksud. Komisaris adalah wakil pemegang saham dalam mengawasi direksi. Juga mewakili pemegang saham untuk memberikan persetujuan rencana kerja perusahaan. Untuk BUMN saya melihat keberadaan komisaris ini beda dengan di swasta. Di swasta komisaris selalu sehati dengan pemegang saham mayoritas. Di BUMN belum tentu. Kenapa? Di BUMN seorang komisaris bisa sengaja menghambat direksi tanpa sepengetahuan pemegang saham. Bahkan komisaris bisa mencelakakan direksi –juga tanpa sepengetahuan pemegang saham. Misalnya ada komisaris yang ''membocorkan'' perbedaan pendapat di perusahaan BUMN ke penegak hukum. Padahal belum tentu motif pembocoran itu ingin menyelamatkan atau memajukan perusahaan BUMN. Motifnya bisa saja ambisi pribadi, kepentingan bisnis, atau kepentingan relasi. Saya melihat ada hubungan tidak sehat antara komisaris dan direksi di BUMN. Sayangnya UU PT kita ikut model Belanda: di sebuah perusahaan harus ada <a href="https://disway.id/listtag/387275/dewan-komisaris">dewan komisaris</a> dan <a href="https://disway.id/listtag/387277/dewan-direksi">dewan direksi</a>. Kalau komisarisnya lebih satu orang, salah satunya diangkat jadi komisaris utama. Di Amerika tidak ada dewan komisaris. Pun di Singapura. Di banyak negara. Mereka menggunakan sistem <em>one board</em>. Sebenarnya Indonesia tidak harus mewarisi sistem Belanda. Saya lebih setuju dewan komisaris dihapus. Perusahaan-perusahaan akan lebih lincah. Konflik bisa dihindari. Di swasta hampir tidak pernah ada konflik antara direksi dan komisaris. Kalau komisaris tidak setuju langkah direksi ia/dia mundur. Di BUMN konflik itu sering terjadi. Yang berkonflik pun sama-sama tidak mau kehilangan jabatan. Maka kalau sekarang ada yang mempersoalkan rangkap jabatan, sebenarnya kurang mendasar. Sekalian saja persoalkan urgensi keberadaan dewan komisaris. Hapuskan jabatan komisaris. Bisa ikut Amerika: <em>one board</em>.<!--nextpage--> Begitu panjang antrean ingin jadi komisaris BUMN. Jadi komisaris seperti sebuah lowongan kerja.<strong>(Dahlan Iskan)</strong>