Pemegang saham BUMN adalah pemerintah: menteri BUMN. Kini bersama Danantara. Menteri BUMN punya atasan: presiden.
Zaman saya dulu Presiden SBY tidak pernah titip siapa pun untuk jadi komisaris BUMN –saya tidak pernah bertanya kepada wakil menteri apakah pernah menerima titipan yang dimaksud.
Komisaris adalah wakil pemegang saham dalam mengawasi direksi. Juga mewakili pemegang saham untuk memberikan persetujuan rencana kerja perusahaan.
Untuk BUMN saya melihat keberadaan komisaris ini beda dengan di swasta.
Di swasta komisaris selalu sehati dengan pemegang saham mayoritas. Di BUMN belum tentu. Kenapa?
Di BUMN seorang komisaris bisa sengaja menghambat direksi tanpa sepengetahuan pemegang saham. Bahkan komisaris bisa mencelakakan direksi –juga tanpa sepengetahuan pemegang saham.
Misalnya ada komisaris yang ”membocorkan” perbedaan pendapat di perusahaan BUMN ke penegak hukum. Padahal belum tentu motif pembocoran itu ingin menyelamatkan atau memajukan perusahaan BUMN. Motifnya bisa saja ambisi pribadi, kepentingan bisnis, atau kepentingan relasi.
Saya melihat ada hubungan tidak sehat antara komisaris dan direksi di BUMN. Sayangnya UU PT kita ikut model Belanda: di sebuah perusahaan harus ada dewan komisaris dan dewan direksi. Kalau komisarisnya lebih satu orang, salah satunya diangkat jadi komisaris utama.
Di Amerika tidak ada dewan komisaris. Pun di Singapura. Di banyak negara. Mereka menggunakan sistem one board.
Sebenarnya Indonesia tidak harus mewarisi sistem Belanda. Saya lebih setuju dewan komisaris dihapus. Perusahaan-perusahaan akan lebih lincah. Konflik bisa dihindari.
Di swasta hampir tidak pernah ada konflik antara direksi dan komisaris. Kalau komisaris tidak setuju langkah direksi ia/dia mundur.
Di BUMN konflik itu sering terjadi. Yang berkonflik pun sama-sama tidak mau kehilangan jabatan.
Maka kalau sekarang ada yang mempersoalkan rangkap jabatan, sebenarnya kurang mendasar. Sekalian saja persoalkan urgensi keberadaan dewan komisaris. Hapuskan jabatan komisaris. Bisa ikut Amerika: one board.