Menurut pengamat kripto dari komunitas lokal Indonesia, rendahnya reaksi pasar terhadap pengumuman tersebut disebabkan oleh kurangnya integrasi nyata antara fitur-fitur baru dengan ekosistem keuangan global.
“Tanpa adanya listing di bursa utama seperti Binance atau Coinbase, pengguna masih ragu untuk menganggap PI sebagai aset yang memiliki likuiditas tinggi,” ujar seorang miner Pi veteran yang enggan disebutkan namanya.
Harapan dari Ekosistem dan Dukungan Komunitas
Meski menghadapi tekanan, Pi Network tetap memiliki potensi pertumbuhan di masa mendatang. Hingga saat ini, proyek yang pertama kali diluncurkan pada 2019 itu telah mengklaim memiliki lebih dari 65 juta pengguna terverifikasi di seluruh dunia.
Di Indonesia, komunitas Pi Network juga termasuk salah satu yang paling aktif, dengan berbagai kegiatan edukasi dan perdagangan peer-to-peer di berbagai daerah.
Pengenalan Pi App Studio dinilai menjadi langkah penting dalam memperluas adopsi teknologi blockchain ke pengguna awam. Platform ini memungkinkan siapa pun membangun aplikasi berbasis blockchain tanpa perlu menulis kode, serta langsung dapat diintegrasikan ke dalam jaringan Pi.
Selain itu, pengembang juga tengah menjajaki kerja sama strategis di bidang kecerdasan buatan (AI) dan Web3, meski hingga kini belum ada pengumuman resmi mengenai mitra global yang terlibat.
Prospek Harga Jangka Pendek
Jika tekanan jual dari unlock token tidak diimbangi dengan peningkatan permintaan riil, harga Pi Coin berpotensi turun ke level support berikutnya di US\$0,45–0,42. Namun apabila pasar mampu menyerap suplai baru dan terdapat katalis positif, seperti pengumuman kemitraan besar atau listing di bursa internasional, harga bisa kembali naik ke kisaran US\$0,55–0,60 dalam waktu dekat.
Analis juga menyarankan agar para investor bersikap hati-hati, mengingat likuiditas PI masih terbatas dan sebagian besar perdagangannya berlangsung di bursa kecil. Meskipun memiliki komunitas besar, Pi Coin belum sepenuhnya diakui oleh pasar kripto global sebagai aset yang mapan.