Kucing putih, pada saat tertentu bisa menangkap tikus, tapi di saat yang lain sudah tidak bisa. Mungkin si kucing putih sudah lebih tua. Atau tikusnya sudah berhasil mempelajari kelebihan kucing putih.
Yang jelas, kini dicoba untuk menggunakan kucing jenis lain. Maksudnya: agar bisa menangkap tikus di PT Timah.
Toh kucing putih sudah dicoba di sana. Puluhan tahun. Gagal. Total. Saking gagalnya, si kucing bukan saja tidak bisa menangkap tikus, bahkan tidak bisa mengambil makanan miliknya sendiri. Saya bagian dari kegagalan di PT Timah itu.
Makanan PT Timah adalah pasir timah miliknya sendiri, di lahan miliknya sendiri, di kawasannya sendiri. Pasir yang mengandung timah itu dikeruk oleh orang lain. Di mana-mana. Di semua tempat. Di laut. Di darat. Siang. Malam. Terang-terangan.
Tidak ada pencuri pasir timah yang bisa ditangkap. Kalau pun ada, dilepas. Backing-nya luar biasa kuat. Sampai ada guyonan di Bangka: hanya angkatan udara yang tidak terlibat –karena di sana tidak ada angkatan udara.
Saya melihat pengangkatan Kolonel Restu dari sudut itu. Mampu tidaknya Restu, saya tidak tahu. Berhasil tidaknya juga tidak tahu. Setidaknya Restu diharapkan bisa jadi kucing yang berubah-ubah warna –menyesuaikan dengan jenis tikusnya.
Untuk itu Restu dipayungi oleh komisaris utama, seorang jenderal bintang tiga: Letjen Purn Agus Rohman. Ia orang yang teguh dan sederhana.
Anaknya tukang sepatu di Bandung Selatan. Tidak pernah terbayang jadi jenderal bintang tiga. Ia seorang maung Bandung. Ada harimau di belakang kucing itu.
Meski kolonel, Restu sudah senior. Sudah waktunya pensiun. Ia lahir di Demak tahun 1970 –tanggal 2 Mei.
Latar belakang pendidikannya istimewa. Tidak hanya dari Akmil (lulus 1987). Restu pernah kuliah di universitas hebat King’s College di Inggris. Masih pula meneruskan kuliah di Cranfield University –antara Oxford dan Cambridge, utara London.
Restu juga pernah menjadi komandan pasukan PBB. Terakhir menjadi Danrem Pantai Timur di Pematang Siantar dan Irdam Kodam Mulawarman di Balikpapan.