IKNPOS.ID – Buku adalah jendela ilmu. Kalimat ini bukan sekadar kutipan bijak yang menghiasi dinding sekolah, tetapi cerminan bahwa pengetahuan adalah fondasi utama bagi lahirnya peradaban.
Namun, di tengah derasnya arus digitalisasi dan minimnya perhatian terhadap dunia literasi, jendela itu kini tampak buram, bahkan nyaris tertutup.
Fenomena ini menjadi cermin getir dari nasib penulis dan penerbit di Indonesia. Mereka yang seharusnya menjadi garda depan pembangunan intelektual, kini justru berjuang demi hidup layak. Ironis? Tentu saja.
Bukan rahasia lagi bahwa penulis buku, baik sastra maupun akademik, adalah ujung tombak dalam ekosistem perbukuan.
Namun dalam kenyataannya, mereka justru menjadi pihak terakhir yang menikmati hasil dari buku yang mereka tulis.
Bayangkan, banyak dosen di Indonesia harus menyisihkan gaji hanya untuk membiayai publikasi ilmiahnya sendiri. Padahal menulis adalah bagian dari pengabdian akademik, kontribusi langsung terhadap ilmu pengetahuan.
Bila penghargaan terhadap penulis saja minim, bagaimana mungkin kita berharap munculnya buku-buku bermutu?
Lebih menyakitkan lagi, royalti penulis di Indonesia rata-rata hanya 5–10 persen dari harga jual buku. Dan ketika harga kertas melonjak, biaya produksi meningkat, serta penjualan buku menurun drastis, yang paling terdampak adalah penulismereka yang telah menghabiskan ratusan jam berpikir dan menulis.
Penerbit Tutup, Ekosistem Terancam Ambruk
Berdasarkan data Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), dari total 2.721 anggota, kini hanya 982 penerbit yang masih aktif.
Artinya lebih dari 1.700 penerbit telah gulung tikar. Ini bukan hanya sekadar angka, tetapi alarm keras bagi masa depan dunia perbukuan Indonesia.
Padahal, industri buku bukan sekadar urusan mencetak dan menjual. Ia adalah mata rantai panjang yang melibatkan penulis, editor, desainer, penerbit, toko buku, hingga pembaca. Bila salah satu mata rantai itu rapuh, semuanya bisa runtuh.
Dan kini, rantai itu sedang terputus.
Pajak, Harga Produksi, dan Pembajakan
Tingginya harga kertas, mahalnya ongkos produksi, hingga beban pajak yang tidak berpihak kepada industri kreatif adalah tantangan nyata yang dihadapi para penerbit.
Ditambah budaya membaca masyarakat yang masih rendah dan maraknya pembajakan digital, maka lengkaplah sudah beban yang ditanggung ekosistem ini.
Sementara itu, distribusi buku di Indonesia juga masih menjadi masalah kronis. Banyak buku berkualitas tidak sampai ke tangan pembaca, baik karena tidak tersedia di toko daerah maupun karena distribusi yang buruk dari pusat.