Sampai-sampai Presiden Prabowo sempat menegaskan: akhiri era kuota-kuota dalam impor. Jangan ada lagi kuota. Bebaskan impor.
Maksudnya: agar Amerika senang. Agar perlakuan tarif untuk barang Indonesia yang masuk ke Amerika jangan dikenakan tarif 32 persen.
Juga soal TKDN –Tingkat Komponen Dalam Negeri. Untuk apa TKDN. “Bikinlah yang fleksibel,” ujar Presiden Prabowo.
Negara seperti Amerika memang mengeluhkan proyek-proyek yang dibangun di Indonesia: komponen dalam negerinya harus sampai 40 persen. Negara-negara maju pasti punya mau: jangan ada TKDN.
Kalau TKDN dihapus, yang bertepuk tangan bukan hanya Amerika. Yang bersorak justru Tiongkok.
Kewajiban TKDN membuat nilai proyek lebih mahal. Kalau semua barang bisa didatangkan dari Tiongkok nilai proyeknya bisa lebih murah.
Tujuan TKDN, Anda sudah tahu, untuk melindungi industri dalam negeri. Tanpa TKDN industri dalam negeri tidak kuat bersaing.
Tapi harga barang produksi dalam negeri memang sering lebih mahal daripada impor. Itu jadi keluhan para pemenang tender proyek di Indonesia. Apalagi kalau yang menang tender itu perusahaan dari Tiongkok.
Trump tidak punya peraturan TKDN Amerika. Ia lebih ”kejam”: industri dalam negeri dilindungi lewat tarif bea impor yang tinggi. Sampai pun melanggar aturan WTO. Ia tidak peduli.
Bisakah Indonesia menghapus kuota seperti yang diinginkan Presiden Prabowo di sarasehan ekonomi Rabu lalu? Siapa berani taruhan?
Boleh juga TKDN jadi taruhan. Akan lahirkah aturan TKDN-Fleksibel? Dalam waktu dekat?
Trump begitu mudah mengubah kebijakan. Satu minggu setelah kebijakannya ditolak pasar, langsung ia delay. Padahal ia begitu bangga dengan keputusannya itu. Sampai ia sebut sebagai ”Hari Kemerdekaan” Amerika. Maka itulah Hari Kemerdekaan yang hanya berumur satu minggu.
Prabowo baru menyatakan ”bebas kuota” dan ”TKDN Fleksibel” dalam sebuah sarasehan.
Memang saat mengucapkan perintah itu Prabowo mendapat tepuk tangan yang gemuruh. Tapi realitas kehidupan tidak bisa diselesaikan lewat gemuruhnya tepuk tangan.