Jalan tembus itu berhasil dibangun. Ia terpilih lagi. Saya ingin merasakan jalan itu. Lewat pukul 00.00 kami berada di jalur itu. Lewat tengah hutan milik UGM. Para mahasiswa fakultas kehutanan UGM melakukan penelitian di situ.
Yang berat dalam membangun jalan tembus itu adalah: harus membangun jembatan untuk melintasi Bengawan Solo. Posisinya dekat museum manusia purba, Trinil.
Jarak yang harus kami tempuh lebih jauh. Maka begitu masuk tol Ngawi Kang Sahidin ngebut. Agar jangan sampai tiba di Surabaya setelah subuh. Pagi itu harus tetap olahraga.
Ngebut itu punya konsekuensinya: pemakaian listriknya lebih boros.
Maka begitu sampai Mojokerto baterainya tinggal 5 persen. Sudah muncul tanda harus segera charging. Warna di dashboard sudah merah.
Ada satu rest area lagi di dekat Mojokerto. Tapi kami berdiskusi: mampir charging atau lanjut Surabaya. Sisa jarak tempuh masih 50 km lagi.
Lanjut!
Sampai Sepanjang tinggal tiga persen. Kang Sahidin memperlambat kecepatan. Sampai di bundaran Waru tinggal 2 persen. Kami nekat. Que serra serra.
Akhirnya sampai di rumah: masih tetap 2 persen: pukul 03.00. Berarti hanya akan tidur dua jam untuk bangun berolahraga.
Sewaktu pakai Tesla, kami pernah dalam posisi kritis. Sampai di Krian baterai tersisa tinggal bisa jalan 15 km lagi. Sampai Sepanjang: 0 km. Kami panik. Jalan terus. Pelan-pelan. Masih 10 km lagi. Entah apa yang akan terjadi.
Meski sudah 0 km ternyata masih bisa sampai rumah.
Baterai mobil listrik rupanya berbeda dengan baterai handphone. (Dahlan Iskan)