Di samping itu juga sudah ada bantuan satu ahli anestesi dari RS Swasta. Kebetulan RS Kewa dan RS Lela sudah punya ahli anestesi: dr Fajrul Tamsil,SpAn. Dua RS swasta itu merelakan dokternya untuk membantu di RSUD T.C. Hillers.
Pemkab Sikka, mau tidak mau harus mengimbangi pemerintah kabupaten tetangganya. Pemkab Ende mampu memberikan insentif dokter ahli dua kali lebih besar dari Sikka. Pun kabupaten Ruteng.
Insentif untuk dokter ahli di RS Labuhan Bajo sudah Rp 35 juta/bulan. Tinggal Sikka yang hanya Rp 20 juta. Padahal beban kerja dokter di Hillers bisa tiga kali lipat dari RS Labuhan Bajo. RSUD T.C. Hillers adalah RS rujukan di Flores.
Nasib dokter ahli yang ditugaskan di RS T.C. Hillers memang ”sial”. Waktu masih berstatus sekolah, mereka sudah dapat honorarium Rp 35 juta/bulan. Begitu jadi ahli dan ditempatkan di Hillers, penghasilannya justru turun jadi Rp 20 juta.
Mungkin, bagi Pemkab Sikka berat menaikkannya. Sikka itu kabupaten miskin. Tapi agar dokter ahli mau bertugas di Sikka mau tidak mau hukum pasar harus berlaku.
Kalau tidak, dokter di Sikka bisa lari ke kabupaten lain. Dokter ahli lain bisa ikut cara dr Remi dan dr Evi.
Semiskin-miskin Sikka, toh sebenarnya masih mampu menggaji 45 orang anggota DPRD setempat. Padahal mungkin saja rakyat akan bertanya: penting mana keberadaan dokter ahli dibanding anggota DPRD.
Yang mungkin juga perlu dilakukan adalah: pemberian otonomi yang lebih luas kepada manajemen RSUD.
Rasanya aneh, rumah sakit Hillers tidak mampu membayar dokter ahli anestesi setara dengan kabupaten lain.
Jangan-jangan penghasilan RS Hillers lebih besar dari pada anggaran yang didapat dari pemda. Sudah waktunya diberi wewenang khusus: penghasilan RSUD Hillers dipakai langsung untuk biaya di situ. Jangan disetorkan ke kas pemkab.
Manajemen RSUD sekelas Hillers sudah harus bisa mandiri. Tidak perlu menyusu ke pemda. Juga jangan sampai menyusui pemda.
Pekan lalu seorang ahli manajemen keuangan mendapat gelar doktor dari Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung.