Fikri minta saya mengganti “lead” itu. Lama saya mikir. Tidak ketemu. Fikri teriak. Mana “lead” yang baru. Saya paksakan bikin “lead” sekuat pikiran saya.
“Masih belum menarik,” katanya. “Bikin lagi,” tambahnya.
Setelah empat kali ganti “lead” akhirnya Fikri bilang: “ini baru menarik”. Ia pun lantas memasukkan “lead” baru itu ke dalam tulisan saya yang sudah ia rombak total.
Menulis “lead” untuk majalah mingguan jauh lebih sulit daripada menulis lead untuk surat kabar. Tapi, kelak, saat memimpin Jawa Pos saya mengharuskan wartawan menulis “lead” yang baik meskipun untuk koran.
Fikri adalah guru saya di bidang penulisan “lead”. Selebihnya saya hanya mengenalnya sebagai wartawan yang hebat. Ia wartawan ekonomi yang luar biasa. Lobi-lobi-nya dengan kalangan atas sangat luas. Dengan para menteri ekonomi dan keuangan. Juga dengan para pengusaha besar.
Fikri Jufri adalah satu-satunya wartawan yang mampu melakukan wawancara khusus dengan konglomerat nomor satu Indonesia saat itu: Liem Sioe Liong. Hasil wawancara itu dimuat sebagai laporan utama. Oplah TEMPO mencapai rekor tetinggi dalam sejarahnya: 175.000 eksemplar. (Dahlan Iskan)