Saya ke Makassar juga untuk ke makam almarhum Alwi Hamu. Ia 30 tahun bersama saya mengembangkan grup Jawa Pos. Di makam itu saya minta maaf: waktu ia meninggal dua bulan lalu saya tidak bisa ikut melayat. Waktu itu saya diwakili Faisal Hamdan, direktur Disway Sulsel. Salah satu putra Pak Alwi Hamu, Subhan, memang pilih mengembangkan Disway di Sulsel.
Dari makam keluarga milik mantan Wapres HM Jusuf Kalla itu saya ke kampus Tamalanrea. Prof Nurpuji sudah menunggu di lantai lima salah satu rumah sakit milik Unhas yang amat sibuk. Saking sibuknya saya pilih turun dari lantai lima lewat tangga. Sekaligus berolahraga tambahan sebelum berbuka puasa.
“Dari 19 paten itu mana yang Prof paling banggakan?”
“Yang Albumin,” jawab Prof Nurpuji.
“Nur Puji atau Nurpuji?”
“Nurpuji. Disambung”.
“Seperti nama orang Jawa….”
“Ibu saya Jawa”.
Ayah Nurpuji-lah yang Makassar. Tentara. Terakhir berpangkat Letkol. Pindah-pindah tugas. Saat berdinas di Jawa dapat jodoh wanita Jawa.
Sejak lahir sampai S-1 Nurpuji di Makassar. Lalu mendapatkan gelar master di universitas di North Carolina, Amerika. Nurpuji lantas kembali ke Unhas untuk S-3.
Suaminyi saya kenal: komisaris di Bosowa. Pernah pula jadi dekan fakultas ekonomi di Unhas.
Saya pun minta maaf ke Prof Nurpuji. Saya telat tahu. Salah sangka. Ternyata bukan Universitas Brawijaya Malang yang lebih dulu meneliti kandungan albumin pada ikan haruan.
Waktu saya perlu-perlunya tambahan albumin (2005-2006) saya mencarinya di UB Malang. Berhasil. Tidak ke Prof Nurpuji. Ternyata tahun 2002 Prof Nurpuji sudah punya produk kapsul albumin.
Itulah kelebihan peneliti yang tetap menekuni bidang klinis. Prof Nurpuji bisa menghadapi langsung penderitaan pasien. Ada pasien yang di samping kekurangan albumin juga kekurangan uang. Dokter harus tetap menyelamatkan pasien yang miskin.
“Setelah jadi dokter jangan berhenti menjadi ilmuwan”.
Itulah kalimat yang selalu saya ingat dari kemarahan Dr Shen Zhong Yang kepada tim dokternya. Yakni saat tim itu tidak kunjung bisa menyelesaikan keluhan saya pasca transplant hati. Pendiri rumah sakit pusat transplant di Tianjin, Tiongkok, itu sendiri seorang peneliti ternama. Ia punya toples berisi air di meja kerjanya. Di dalamnya ada barang. Itulah hati bayi yang gagal ia selamatkan saat pertama melakukan transplant.