Indonesia mungkin juga tidak akan menutup kedutaan di Ethiopia. Pun di saat dilakukan penghematan besar-besaran. Di antara negara ASEAN, hanya Indonesia yang punya kedutaan di sini.
Tentu duta besarnya harus menyadari pentingnya Ethiopia sebagai pemimpin ”ASEAN’-nya Afrika Timur. Kawasan ini kian strategis. Apalagi kantor sekretariat tetap Uni Afrika juga di Addis Ababa –seperti kantor ASEAN ada di Jakarta.
Dari acara perpisahan itu saya melihat pengaruh Al di kalangan cendekiawan, budayawan, dan wartawan Ethiopia.
Salah satu wartawan terkenal di sana sampai menulis buku tentang peran dan gaya kepemimpinan Al: dalam bahasa Ethiopia. Sang wartawan menyerahkan buku itu, terjemahannya, ke saya di panggung acara.
Al pun bercerita: sejak menjadi wartawan pemula ia sudah ingin membuat karya yang eksklusif. Yang tidak biasa-biasa saja. Saat ia SMA itu ada pengungsi Vietnam ke pulau Galang. Tidak ada media di Sumbar yang berusaha meliput ke sana.
Al tergerak ke Galang. Tidak punya uang. Mesin ketik merek Royal-nya ia gadaikan: Rp 30.000. Ia minta surat tugas ke pemred Singgalang. Ia mengaku sudah memberi tahu orang tuanya di desa di pedalaman Payakumbuh. Memberi tahu. Bukan minta izin. Ia sudah mencoba dua kali minta izin. Tidak diizinkan.
Dengan bekal surat tugas itu Al naik bus ke Pekanbaru. Lalu naik kapal tongkang ke Tanjungpinang. Di perjalanan Al dapat kenalan. Ia diminta tidur di rumah kenalan itu. Agar tidak perlu bayar penginapan.
Seusai tugas Al pulang dulu ke Payakumbuh. Ia dapati ibunya sakit. Sang ibu jatuh sakit sejak Al pergi. Kedatangannya dipakai Al untuk minta maaf. Dan ibunya langsung sembuh. Sang ibu sempat melihat bahwa Al kelak jadi diplomat. Bahkan jadi duta besar.
Dua hari kemudian empat wanita datang ke kedutaan. Mereka para relawan sosial Katolik asal Indonesia. Ada yang asal Ruteng, Atambua, Lampung, dan Kupang. Mereka datang dari jarak 600 km dari Addis Ababa: khusus untuk mengucapkan selamat jalan ke Al. Dubes Al memang pernah ke gereja mereka. Tidur di kompleks gereja.