AKHIRNYA saya kabur juga: ke Ethiopia. Saya tinggalkan istri dan cucu di Makkah dengan air mata. Air mata istri. Apa boleh buat. Toh ada Mas Bajuri, Inul Daratista, dan tim mereka. Istri dan cucu bisa pulang ke Jakarta bersama mereka.
Semua itu demi perusuh Disway. Saya ingat komentar ini: saya harus keĀ Ethiopia. Alasannya: saya harus melihat sendiri apakah benarĀ negara termiskinĀ di dunia itu sekarang sudah maju. MungkinkahĀ EthiopiaĀ bisa mengejar kita āmumpung yang dikejar belum mau lari.
Saya pun tidak minta izin istri. Toh saya bisa minta maaf: beberapa jam sebelum harus berangkat. Tiket sudah di tangan. Lebih baik minta maaf daripada minta izin.
Penerbangan dari Jeddah ke Addis Ababa hanya dua jam. Anda sudah tahu: hanya menyeberangi Laut Merah. Saya pun membayangkan pesawatnya pasti hanya tipe Boeing B737 atau Airbus A321.
Saya sengaja pilih terbang denganĀ Ethiopian Airlines. Sekaligus ingin tahu apakah perusahaan penerbangannya sudah mencerminkan perubahan itu. Sekaligus ingin membandingkannya dengan Garuda Indonesia.
Sebenarnya waktu boarding-nya jelek sekali: pukul 03.40. Itu jam enak-enaknya tidur. Berarti saya sudah harus berangkat dari Makkah jam 01.00. Padahal saya tidak bisa tidur cepat. Masih ada acara makan malam dengan seluruh anggota rombongan umrah.
Makan malam itu di Aziziyah. Yakni bagian dari kota Makkah yang tidak lagi tanah haram (tanah suci). Sambil makan nasi briyani saya berpikir: inilah malam yang akan sangat kurang tidur. Karena itu jangan banyak makan. Juga karena lelah: baru saja tawaf ādua hari berturut-turut.
Penerbangan ke Addis Ababa, ibu kota Ethiopia, masih harus dari Bandara Jeddah yang lama. Anda tahu sendiri seperti apa. Penumpangnya masih harus diangkut pakai bus. Di dalam bus saya mencicil kaget: pesawatnya ternyata berbadan lebar. Airbus A-350. Bukan jenis B737 atau A321.
Benarlah yang saya baca di media: Ethiopian Airlines maju sekali. Sudah berbeda dengan ET yang dulu. Ethiopian kini sudah punya 20 buah pesawat A350 āsedang Garuda baru pernah akan punya.