“Sekarang Anda olahraga apa?”
Saya tahu: Jonan seorang pelari maraton. Sudah tidak terhitung berapa kali ia ikut maraton. Sampai pun umur 40 tahun masih maraton. Tapi saya yakin kini ia tidak lagi lari. Umurnya sudah 62 tahun. Sudah terlalu bahaya untuk dibuat lari.
Ternyata Jonan kini pilih olahraga berat: pilates. Yang sampai bergelantungan itu. Jungkir balik itu.
“Saya tidak suka olahraga permainan seperti tenis atau naik sepeda,” katanya.
“Berapa kali seminggu berpilates?”
“Seminggu sekali. Tapi serius. Pakai private trainer,” katanya. Selebihnya ia jalan cepat. Seminggu tiga kali. Sampai 7.500 langkah.
Saya tahu Jonan menamatkan SMA-nya di St Louis, Surabaya. Ia juga merasa sangat “Arek Suroboyo”. Tapi baru dari IG-nya kemarin saya tahu bahwa Jonan lahir di Singapura.
“Almarhum ibu saya adalah warga negara Singapura,” ujar Jonan.
Papa Jonan meninggal di usia 67 tahun. Mamanya meninggal di umur 77 tahun. Dua-duanya meninggal karena brain stroke.
Jonan tahu seorang anak yang orang tuanya meninggal karena jantung atau stroke harus rajin memeriksakan kesehatan. Setidaknya setahun sekali. Harus pakai nuclear heart stress test. Itulah sebabnya Jonan tidak melakukan tes dengan menggunakan treadmill.
Saya biasa tes pakai treadmill. Saya bukan Jonan –yang punya riwayat khusus seperti itu.
“Pakai treadmill juga sudah sangat akurat. Juga lebih murah. Standarnya begitu,” ujar dokter Jagaddhito Probokusumo, ahli jantung yang kini lagi memperdalam ilmu jantung di Rizhao International Heart Hospital, Shandong, Tiongkok.
Jonan memang istimewa. Tidak hanya lahirnya yang di Singapura –di RS Paglar Maternity House, sekarang Parkway Hospital. Dokter yang mengeluarkan surat kelahirannya pun istimewa: dr Benjamin Sheares. Anda sudah tahu siapa Shearers: presiden kedua Singapura.
dr Benjamin Sheares muda yang kelak kemudian menjadi Presiden kedua Singapura itu sempat mengeluarkan surat kelahiran Ignasius Jonan.–
Akhirnya ada juga seorang pemberani yang takut merokok lagi. Ia bernama Jonan. Bukan Churchill. (Dahlan Iskan)