Mungkin ada tokoh PDI-Perjuangan yang sudah pernah mendengarnya. Atau masih sebatas gosip politik –setelah dihubungkan dengan banyak kejadian sebelumnya.
Rasanya terlalu brutal kalau sampai Jokowi mau itu. Kalau mau, kenapa tidak tiga tahun lalu.
Saya pun pernah menulis kala itu: kalau PDI-Perjuangan mau menjadi partai tengah yang dominan baiknya Jokowi menjadi ketua umum partai.
Saat itu saya melihat Jokowi adalah kader partai terbaik PDI-Perjuangan. Belum pernah ada kader partai yang mampu mencapai prestasi setinggi Jokowi.
Jokowi bahkan melewati Megawati. Jokowi bisa jadi presiden lewat pemilihan langsung. Dua kali pula.
Mega jadi presiden hanya karena Gus Dur dilengserkan. Wakil presiden otomatis jadi presiden.
Saat berpendapat begitu saya tidak tahu bagaimana hubungan sebenarnya antara Megawati dan Jokowi. Saya hanya pakai akal sehat: kader terbaik harus mendapat jabatan terbaik.
Saya juga melihat sudah saatnya PDI-Perjuangan menjadi partai terbuka –untuk non keluarga Proklamator Bung Karno.
Saya tidak tahu kalau pikiran seperti itu tidak dikehendaki oleh internal PDI-Perjuangan.
“Legal standing” saya hanyalah warga negara Indonesia yang menginginkan terwujudnya partai tengah yang dominan dalam sistem demokrasi kita.
Saya melihat, saat itu, hanya PDI-Perjuangan yang punya potensi untuk menjadi partai tengah yang dominan. Dengan Pak Jokowi tampil di pucuk pimpinan, maka partai itu bisa bergeser lebih ke tengah. Apalagi posisi beliau yang memegang kekuasaan tertinggi di republik ini.
Tentu setelah beliau bukan presiden lagi harus dipertanyakan: kalau pun bisa jadi ketua umum PDI-Perjuangan apakah masih akan bisa membawa partai itu menjadi partai tengah yang dominan.
Bahkan pertanyaan itu tidak relevan lagi: sudah sangat kecil kemungkinan beliau bisa maju di kongres depan.
Kecuali tiba-tiba kata “emoooooh” tadi berubah makna: di pedesaan Jawa, kalau anak kecil ditanya bagaimana suara seekor sapi, jawab mereka: emoooooh.(Dahlan Iskan)