IKNPOS.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja membuat keputusan penting dengan menghapuskan ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu.
Keputusan ini membuka jalan bagi partai politik mana pun untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa terhalang oleh ambang batas minimal perolehan suara atau kursi DPR sebelumnya.
“Keputusan ini menghapus hambatan konstitusional yang ada pada partai politik dalam mengusulkan pasangan calon presiden,” ujar Ketua MK, Suhartoyo, saat membacakan amar putusan pada Kamis, 2 Januari 2025.
Mahkamah menilai bahwa ketentuan tersebut tidak hanya melanggar hak konstitusional, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan rasionalitas.
Menurut Wakil Ketua MK, Saldi Isra, pengusulan pasangan calon presiden oleh partai politik merupakan hak konstitusional yang tidak bisa dibatasi dengan persentase suara atau kursi DPR dari pemilu sebelumnya.
Keputusan ini juga didorong oleh pertimbangan bahwa presidential threshold tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai peserta pemilu dan malah mengarah pada ketidakadilan.
Lebih lanjut, Saldi menegaskan bahwa penerapan presidential threshold ini bertentangan dengan prinsip dasar sistem presidensial Indonesia, yang seharusnya memberi kebebasan kepada partai politik untuk mengajukan pasangan calon sesuai kehendak rakyat.
Hal ini memunculkan pertanyaan besar, apakah pembatasan seperti ini justru mengancam demokrasi?
Dengan keputusan ini, MK menilai bahwa sistem presidensial Indonesia tidak bisa disamakan dengan sistem parlementer yang mengedepankan angka suara atau kursi.
MK bahkan mengingatkan bahwa kondisi polarisasi yang terjadi dalam pemilu presiden yang hanya diikuti dua pasangan calon bisa mengancam keutuhan bangsa, jika tidak dikelola dengan baik.
Namun, tidak semua pihak sepakat dengan keputusan ini. Dua hakim konstitusi, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh, menyatakan pendapat berbeda dalam perkara ini.
Hal ini menambah kompleksitas bagi pengambilan keputusan politik terkait pemilu presiden 2024 mendatang.
Kasus ini sendiri dimohonkan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yang merasa ketentuan ambang batas tersebut telah merugikan hak politik mereka dan masyarakat pada umumnya. (*)