Dari situ mereka mulai menyusun draf dan menulis terkait dengan gugatan permohonan ke MK pada Februari 2024.
Mulai Februari 2024 hingga Januari 2025, mereka terus berproses di MK. Bahkan harus menjalani tujuh kali sidang baik offline maupun online.
“Sebanyak 32 putusan MK sebelumnya menyatakan tidak diterima dan ditolak pasal. Ditolaknya permohonan-permohonan tersebut. Kemudian pada permohonan ke-33 ini, MK dapat menguatkan keinginan dari masyarakat Indonesia,” tukasnya.
Hal senada disampaikan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Profesor Ali Sodikin.
Menurutnya, dikabulkannya perkara tentang presidential Threshold di MK yang pemohonnya diajukan empat mahasiswanya adalah landmark decision.
Karena berpuluh kali permohonan judicial review tentang pasal presidential threshold dan selalu ditolak MK.
“Dalam sejarah, inilah permohonan judicial review tentang presidential threshold yang dikabulkan. Pemohonnya adalah mahasiswa kami yang masih belajar demokrasi dan hukum tata negara di Fakultas Syariah dan Hukum,” ujar Ali Sodikin.
Masyarakat Mudah Terjebak Polarisasi
Seperti diketahui, pada Kamis, 2 Januari 2024, MK memutuskan menghapus ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.
Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.
Karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.