IKNPOS.ID – Gagalnya uji coba Autonomous Rail Rapid Transit (ART) di Ibu Kota Nusantara (IKN) beberapa waktu lalu memicu perhatian, terutama dari Kota Surabaya.
Pasalnya, Pemerintah Kota Surabaya sebelumnya telah menyatakan minat untuk mengadopsi sistem transportasi serupa guna mengurai kemacetan di kota terbesar di Jawa Timur ini.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, sempat menyebutkan bahwa ART menjadi pilihan utama Pemkot Surabaya dibandingkan sistem transportasi berbasis rel seperti Mass Rapid Transit (MRT) atau Light Rail Transit (LRT).
Salah satu alasan utamanya adalah efisiensi biaya pembangunan.
“Kalau ART itu pakai magnet, ternyata itu harganya Rp 500 miliar–Rp 600 miliar per 7 kilometer,” ujar Eri.
Sebagai perbandingan, pembangunan MRT membutuhkan biaya sekitar Rp 2,3 triliun per kilometer, sementara LRT memerlukan sekitar Rp 800 miliar per kilometer.
Dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Surabaya yang sebesar Rp 10,9 triliun, pembangunan MRT atau LRT dianggap kurang realistis.
“ART dianggap lebih rasional sesuai dengan kemampuan anggaran kota,” tambah Eri.
Bahkan, ia sempat optimis bahwa Surabaya akan menjadi kota kedua di Indonesia yang mengadopsi teknologi ART setelah IKN.
Respon Wali Kota Surabaya
Setelah kabar gagalnya uji coba ART di IKN menyeruak, Eri Cahyadi memberikan tanggapan yang cenderung hati-hati.
Ia menyebutkan bahwa proyek transportasi yang akan didukung oleh pemerintah pusat untuk Surabaya adalah Light Rail Transit (LRT), bukan ART.
“Yang dari pusat turunnya itu LRT. Kalau otonom kan yang buat dalam kota, bukan untuk menggabungkan (antar wilayah),” jelas Eri.
Proyek LRT yang direncanakan akan selesai pada 2027 bertujuan untuk menghubungkan kawasan strategis Gerbangkertosusila, mencakup Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Lamongan, hingga Mojokerto.
Apa yang Membuat ART Menarik Bagi Surabaya?
Meski demikian, daya tarik ART bagi Surabaya masih cukup kuat. Teknologi yang menggunakan sistem magnet tanpa rel ini tidak hanya menawarkan biaya pembangunan yang lebih ekonomis, tetapi juga lebih fleksibel dalam konstruksi dan desain dibandingkan sistem berbasis rel.