Dia masih siswa SMK kelas XII. Tapi bacaannya buku tebal karya Peter Carey. “Masih belum selesai membaca seluruhnya,” ujar Chelsea Aurelia, siswa SMK itu.
“Sudah sampai mana?” tanya saya.
“Sampai sini….,” katanyi sambil membalik-balik halaman buku itu. Ternyata sudah tinggal sepertiganya.
Itulah buku yang lagi laris. Sudah dicetak ulang lebih tujuh kali. Isinya tentang kisah hidup dan perjuangan Pangeran Diponegoro. Paling lengkap. Paling ilmiah.
Judul bukunya: Takdir.
Peter Carey –tidak ada hubungan dengan penyanyi global Maria Carey– adalah orang Inggris. Ia guru besar di Oxford University. Pandai berbahasa Jawa dan Indonesia. Juga bahasa Belanda dan Prancis.
Saya bertemu remaja putri itu kemarin pagi. Dia lagi bertugas sebagai siswa magang di Museum Diponegoro yang ada di Tegalrejo, Yogyakarta –hanya lima menit naik mobil dari ujung Jalan Malioboro.
Semula saya heran: bagaimana bisa remaja putri itu mampu menjelaskan semua hal tentang Diponegoro. Kok pengetahuannyi tentang Diponegoro setidaknya sama dengan yang saya ketahui.
“Saya baca ini,” kata Chelse sambil melangkah menuju meja kerja satu-satunya di museum itu.
Buku itu penuh dengan stabilo dan coretan. Pertanda dibaca dengan sungguh-sungguh. Sebagian si remaja putri yang memberi tanda coretan. Sebagian lagi Pak Wargo (Letda Inf Wargo Suyanto), seorang prajurit yang bertugas di museum.
Seorang prajurit?
Benar. Bahkan ada dua tentara yang bertugas di situ. Museum Diponegoro memang di bawah Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta sebagai kepanjangan tangan Kodam IV Diponegoro.
Jenderal Surono, saat itu masih berpangkat mayor jenderal dan menjabat Pangdam Diponegoro, adalah orang yang membangun kembali pendapa Diponegoro. Dilengkapi dengan bangunan kecil sebagai museum.
Melihat bangunan dan gaya arsitekturnya memang langsung terasa Meseum Diponegoro ini seperti bagian dari militer. Inilah yang mungkin perlu dipikirkan ulang: apakah tidak waktunya kalau menjadi tanggung jawab Kementerian Kebudayaan. Agar bisa dikembangkan menjadi warisan budaya yang menjadi roh perjuangan Indonesia. “Jenderal Sudirman pun mewarisi jiwa kejuangan dari sini,” ujar seorang pejuang di situ.
Peter Carey telah menghidupkan kembali Diponegoro. Dengan cara yang sangat hidup dan bisa dipertangungjawabkan secara ilmiah. Luar biasa Diponegoro. Sayang kalau jiwanya hanya diwakili oleh museum yang terlalu sederhana ini.
Tentu kita bersyukur bahwa Jenderal Surono dan Kodam Diponegoro telah menyelamatkan pendapa dan kompleks ini. Kalau tidak, bisa jadi, peninggalan ini sudah lenyap. Baik diduduki masyarakat atau pun yang merasa sebagai ahli waris.
Jenderal Surono sendiri memang bagian dan kerabat pewaris Diponegoro. Jutaan orang yang kini secara emosional terkait dengan Diponegoro maupun ajarannya. Peter Carey telah mengungkapkan keseluruhan perjuangan Diponegoro lewat bukunya itu.
Peter Carey sendiri yang menghadiahkan buku yang dibaca Chelsea itu. Ia kirim lima buku. Beda-beda judul. Beda ketebalan. Semua terkait Diponegoro.
Saya bertanya kepada lima orang yang bersama saya ke Museum ini. Mereka S-1 dan S-2 dari berbagai universitas. Dari tiga provinsi. Saya ingin tahu: seberapa tahu mereka tentang Diponegoro. Sangat minimalis.
Saya membayangkan kalau Museum Diponegoro ini diserahkan ke negara bisa dikembangkan lebih hebat. Lahannya luas: hampir tiga hektar.
Anda sudah tahu: Peter Carey awalnya hanya akan meneliti pengaruh revolusi Prancis pada satu daerah kecil di pedalaman Eropa. Saat ia konsultasi dengan guru besarnya di Oxford, teman si guru besar datang. Ikut mendengar konsultasi itu. Si teman ikut nimbrung. Katanya: daerah yang akan diteliti Peter itu sudah ”padat” –sudah banyak peneliti lain yang meminati. Lalu disarankan obyek penelitian yang lebih sulit dan sangat jauh: Perang Jawa.
Syaratnya: Peter harus menguasai bahasa Belanda dan bahasa Jawa. Betapa panjang jalan menuju penelitian. Arsip-arsip di sekitar Perang Jawa memang banyak dalam dua bahasa itu.
Semula saya heran: apa hubungannya Perang Diponegoro dengan Revolusi Prancis. Kita-kita hanya tahu bahwa Daendels –Herman Willem Daendels– adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kejam.
Terlalu sedikit yang tahu bahwa Daendels adalah kepanjangan tangan Napoleon Bonaparte, penguasa Prancis saat itu.
Daendels memang orang Belanda tapi ia dibenci kerajaan Belanda. Ia digolongkan tokoh muda yang ingin melakukan seperti revolusi Prancis di Belanda: raja harus ditumbangkan.
Itu berawal ketika ayah Daendels meninggal. Sang ayah seorang hakim. Daendels ingin menggantikan ayahnya sebagai hakim di daerahnya. Raja Belanda tidak menyetujuinya.
Sejak itu Daendels lari ke Prancis dan jadi patriot di sana. Ketika Prancis mengalahkan Belanda, Hindia Belanda otomatis menjadi jajahan Prancis. Maka adik Napoleon Bonaparte menugaskan Kolonel Daendels menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Pangkatnya dinaikkan menjadi Jenderal Kolonel –setingkat bintang dua.
Anda juga sudah tahu: Daendels harus berangkat ke Jawa secara sembunyi-sembunyi. Kawasan laut saat itu dikuasai Inggris, setelah kawasan darat Eropa dikuasai Prancis. Keberangkatannya tidak boleh diketahui Inggris.
Maka Daendels berangkat ke Jawa naik kapal dulu jurusan New York! Enam bulan kemudian baru tiba di Anyer –ia takut langsung mendarat di Batavia. Dari Anyer ia jalan darat menuju Jakarta.
Zaman itu perjalanan dari Anyer ke Jakarta memakan waktu tiga hari.
Itulah sebabnya Jalan Daendels tahap satu dimulai dari Anyer ke Batavia. Lalu terus ke Bogor, Bandung, Cirebon, Semarang, Gresik sampai Panarukan dekat Situbondo. Tujuannya: kalau Inggris ingin merebut Jawa Prancis bisa dengan cepat mempertahankan Jawa.
Daendels juga merombak struktur pemerintahan. Semula Jawa hanya dibagi dua provinsi. Yang di bagian timur beribu kota di Semarang. Lalu dipecah-pecah. Menjadi banyak karesidenan dan kabupaten.
Bupati pun mulai digaji. Agar jangan korupsi. Waktu itu korupsi merajalela. Daendels marah besar. Yang korupsi yang nilainya melebihi satu bulan gaji dihukum berat.
Perubahan struktur inilah yang mempengaruhi kesultanan di mana-mana. Termasuk di Yogyakarta. Revolusi Prancis ternyata telah membawa pengaruh juga sampai di Jawa meski pelaksanaannya lewat kerajaan Belanda –yang sudah tunduk ke kekuasaan Prancis.
Tentu saya juga melihat tembok belakang Museum Diponegoro yang dijebol itu. Itulah lubang tempat Diponegoro meloloskan diri malam-malam ketika Belanda mengepung rumahnya. Lubang itu sangat besar agar kudanya juga bisa melewatinya. Pun para pengikutnya. Dari sini Diponegoro, 40 tahun, lolos dari kepungan. Ia bersembunyi di Gua Selarong.
Keesokan harinya rumah Diponegoro dibakar.
Dimulailah Perang Jawa. Selama lima tahun. 1825-1830. Belanda hampir bangkrut akibat perang itu. 200.000 orang tewas –sama kira-kira dengan 20 juta saat ini.
Buku Peter Carey telah menjawab pertanyaan banyak orang: mengapa Diponegoro sampai tertipu ketika diundang residen Belanda di Magelang. Yang katanya untuk berunding ternyata ditangkap itu. (Dahlan Iskan)