IKNPOS.ID – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang mulai dilakukan pada 1 Januari 2025 terus menuai kritikan dari kalangan masyarakat. Alasannya, kebijakan itu tidak pro rakyat.
Menurut Ekonom dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, Achmad Nur Hidayat menuturkan, sifat regresif PPN 12 persen ini membuat beban PPN lebih terasa oleh kelompok berpenghasilan rendah dan menengah. Hal ini dikarenakan persentase pengeluaran mereka yang digunakan untuk konsumsi lebih besar dibandingkan kelompok kaya.
“Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan semakin menekan daya beli masyarakat,” kata Achmad ketika dihubungi oleh Disway Group, Kamis 5 Desember 2024.
Selain itu, Achmad melanjutkan, kebijakan ini juga akan berdampak pada sektor usaha, terutama usaha kecil dan menengah (UMKM), yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
Menurutnya, kenaikan PPN akan meningkatkan biaya produksi dan harga jual, sehingga daya saing produk UMKM, baik di pasar domestik maupun ekspor, akan terancam.
“Kondisi ini dapat memperlambat pemulihan ekonomi yang masih rapuh dan menekan penciptaan lapangan kerja baru,” kata Achmad.
Di satu sisi, masyarakat umum juga masih dibebani dengan kenaikan pajak konsumsi, sementara di sisi lain, para pengemplang pajak dan orang kaya justru diberikan kesempatan untuk melegalkan kekayaan mereka dengan tarif yang lebih rendah.
Meskipun pemerintah mungkin menjanjikan kompensasi berupa bantuan sosial, pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa distribusi bantuan sering kali tidak tepat sasaran, dan nilainya tidak cukup untuk menutup beban tambahan akibat kenaikan pajak.
(Bia)