Cantik Cerdas

Dia memang cantik. Pun ketika berhadapan langsung. Secantik foto-fotonya.

“Tapi kaki saya penuh luka bakar,” ujar Sherly Tjoanda yang baru terpilih sebagai Gubernur Maluku Utara itu.

Sherly pun spontan menaikkan ujung rok panjangnyi –untuk menunjukkan kakinya yang penuh bekas luka bakar itu. Dari ujung jari sampai bawah lutut. Kanan-kiri. Dua-duanya.

“Ini sudah lima kali operasi. Kulit asli sudah tidak ada lagi. Sekarang dalam proses menumbuhkan kulit baru,” katanya.

Kemarin pagi Sherly saya undang ke kantor Harian Disway di seberang Taman Surya, Surabaya (Kantor Wali Kota Surabaya). Kami makan pecel. Yakni pecel yang paling Madiun di Surabaya: Pecel Mbak Naning.

Sherly sudah mengenal baik Surabaya. Dia pernah di SMA Petra, Manyar. Satu tahun. Ketika terjadi peristiwa 1998, Sherly ke Singapura: mendalami ilmu desain.

Ketika keadaan sudah tenang Sherly pulang ke Bali. Meneruskan SMA di Bali. Sampai berijazah. Lalu kembali ke Surabaya, masuk Universitas Kristen Petra.

Tiga tahun di Petra Sherly meneruskan kuliah di Amsterdam, Belanda. Termasuk magang kerja di salah satu jaringan supermarket di sana.

Setiap kali terjadi ketegangan politik, orang Tionghoa Maluku punya tiga pilihan yang disukai: mengungsi ke Manado, Surabaya, atau Bali.

Keluarga Sherly pilih ke Bali. Ayah Sherly punya kemampuan untuk membeli rumah di Bali. Sang ayah pengusaha perikanan yang sukses di Maluku.

Sang ayah awalnya hanya membuka bengkel kecil sepeda motor. Ia suka teknik. Berkembang. Lalu membuka bengkel mobil. Naik lagi ke bengkel mesin perahu dan kapal.

Kemajuan sang papa tidak terbendung lagi. Ia menjadi tahu seluk beluk kapal. Ia pun bikin kapal kayu. Kapal ikan. Ia pekerjakan nelayan. Ia masuk ke bisnis ikan.

Sejak itu kapal ikannya banyak sekali. Ia juga membangun cold storage. Di banyak daerah di Maluku. Jadilah sang papa eksporter ikan.

Keluarga Sherly adalah eksporter ikan pertama yang mendapat sertifikat fair trade untuk ekspor ke Amerika dan banyak negara.

Sherly itu anak kedua. Ia punya satu koko, satu titi, dan satu mei mei. Titi dan mei mei itu anak kembar.

Sepulang dari Belanda Sherly kembali tinggal di rumah mereka yang di Bali. Seorang keluarga memperkenalkan Sherly kepada Benny, orang Maluku Utara yang 10 tahun lebih tua. Saat itu Sherly 22 tahun. Benny 32 tahun.

Beberapa bulan kemudian menikah. Benny Laos yang awalnya juga pengusaha kecil di Maluku Utara sudah merangkak menjadi pengusaha lebih besar (Lihat Disway 30 November 2024: Sherly Benny).

Anda sudah tahu: Benny belakangan jadi bupati Morotai yang sukses. Sherly pun mulai dipanggil ”ibu”. Bu Sherly atau Bunda Sherly.

Pasangan ini jadi buah bibir: kerukunannya, keteladanannya, dan kecantikannya. Cantik, saling sayang, kaya. Mereka pun jadi idaman mimpi banyak orang.

Selanjutnya, Anda juga sudah tahu: Benny ingin jadi calon Gubernur Maluku Utara. Provinsi kepulauan ini tidak bisa dihadapi dengan biasa. Pulau-pulaunya dipisahkan laut-laut nan luas.

Untuk persiapan kampanye ke pulau-pulau itu, Benny membeli kapal cepat. Dua kapal sekaligus. Yang satu untuk kampanye calon wakil gubernurnya.

Masa kampanye pun tiba. Benny mulai keliling pulau-pulau dengan kapal cepat pribadinya. Itu bukan kapal cepat biasa. Mesinnya enam buah.

Masing-masing 200 PK. Itu penting. Kalau satu mesin mati masih ada lima. Tiga mati pun masih ada tiga. Intinya kampanye harus sukses. Dukungan kepada Benny meluas.

Hari itu kapal cepatnya singgah di pulau Taliabu. Berhenti di dermaga. Di antara tim pemenangan Benny yang biasa merokok meninggalkan kapal. Mereka merokok di atas dermaga.

Sherly pilih tinggal di kapal. Di kamar yang ada di bagian bawah kapal itu. Dia lagi tiduran.

Benny, suaminya, duduk-duduk di beranda belakang, di belakang kamar Sherly.

Tiba-tiba kapal meledak. Bagian atas dan bagian bawahnya terlepas. Terbelah. Kamar Sherly pun tidak lagi beratap. Sherly terlempar ke depan. Api membumbung tinggi. Kaki Sherly luka bakar.

Tidak ada cara menuju dermaga kecuali masuk ke laut. Sherly masuk laut. Tidak dalam. Dia bisa berjalan di dalam air. Tapi begitu tiba di dermaga, Sherly terkulai. Kakinya tidak punya kekuatan lagi.

Sherly dibawa mobil pikap ke Puskesmas. Tidak punya obat apa-apa. Luka itu hanya disiram cairan anti infeksi. Pinggul Sherly memar membiru. Tidak bisa diapa-apakan di situ.

Benny sendiri masih hidup. Denyut jantungnya masih aktif. Tapi di RSUD setempat tidak ada oksigen. Tidak ada alat pacu jantung, Tidak pula punya peralatan untuk menolong Benny. Benny meninggal dunia. Pun enam orang anggota timnya.

Sherly diterbangkan dengan helikopter ke Luwu –di daratan timur pulau Sulawesi. Kini ada lapangan terbang besar di Luwu. Lalu dengan pesawat pribadi yang dicarter, Sherly diterbangkan ke Jakarta.

Sherly dirawat di RSPAD Gatot Subroto. Dioperasi di situ. Perlu lima tahap operasi. Dia pun berjalan pakai tongkat untuk menyangga pinggulnyi.

Saat kecelakaan itu terjadi, waktu penggantian calon hanya tinggal tujuh hari. Dari tujuh hari itu sudah hilang dua hari untuk pertolongan pertama.

Tim pemenangan Benny bulat: minta agar Sherly mau menggantikan almarhum suami. Dalam dua hari tanda tangan ketua umum dan sekjen delapan partai berhasil didapat.

Tinggal surat keterangan sehat dari dinas kesehatan setempat. Akhirnya atas rekomendasi dinas kesehatan di Maluku, RSPAD mengeluarkan surat keterangan sehat untuk Sherly.

Setelah terpilih jadi Gubernur, Sherly punya tekad kuat: dalam dua tahun akan menggratiskan pendidikan dan kesehatan untuk seluruh rakyat Maluku Utara.

Dia juga akan membangun rumah-rumah sakit di banyak pulau di sana.

Sherly tidak mau kejadian yang menimpa suami terulang: nyawa tidak bisa diselamatkan karena ketiadaan kelengkapan di rumah sakit.

Dari obrolan saya dengan Sherly, saya berkesimpulan: Sherly bukan wanita, istri, ibu rumah tangga biasa. Dia bukan hanya wanita cantik, tapi wanita cantik yang cerdas. (Dahlan Iskan)

 

Exit mobile version