“Dengan insinerator, sampah akan diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke TPA. Hal ini dapat memperpanjang usia pakai TPA,” kata Marnabas.
Sebagai langkah awal, Pemkot Samarinda telah meminta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) untuk mencari lahan dengan luas 1.000-5.000 meter persegi di setiap kecamatan. Lahan ini nantinya akan menjadi lokasi insinerator.
Teknologi insinerator yang direncanakan memiliki kapasitas pengolahan 10 kubik per 8 jam. Untuk menjaga lingkungan, insinerator akan dilengkapi filter yang menyaring asap hasil pembakaran.
Sisa residu pembakaran pun direncanakan diolah menjadi paving block yang memiliki nilai ekonomis.
Marnabas menambahkan bahwa insinerator ini akan menggunakan teknologi pengolahan asap tanpa cerobong.
Asap hasil pembakaran akan dialirkan ke tanah berisi air dan disaring menggunakan alat penangkap asap, sehingga hasil akhirnya berupa air bersih yang telah terfilter.
“Pembangunan akan dilakukan dekat Tempat Pembuangan Sementara (TPS) agar pengelolaan sampah lebih efisien,” tambahnya.
Meskipun proyek ini dianggap sebagai solusi jangka pendek yang efektif, potensi dampak lingkungan dari pembakaran sampah masih menjadi perhatian. Oleh karena itu, kajian lebih lanjut terus dilakukan sebelum pembangunan dimulai.
Dengan berbagai langkah strategis yang tengah diupayakan, Pemkot Samarinda optimistis bahwa masalah sampah yang selama ini menjadi momok dapat teratasi. Tidak hanya itu, keberadaan insinerator juga diharapkan dapat menciptakan sistem pengelolaan sampah yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan.
“Dengan insinerator ini, kita harapkan Samarinda bisa menjadi kota yang lebih bersih, sehat, dan nyaman untuk ditinggali,” pungkas Endang.