Memang ada yang bilang PDI-Perjuangan sengaja pasang Pramono Anung-Rano Karno agar perjuangan Ridwan Kamil tidak berat. Sengaja atau dipaksa sengaja.
Atau, itu sebagai jalan tengah. Baik untuk internal partai maupun eksternal. Antara kutub Anies dan kutub Ahok. Mungkin juga jalan tengah antara kutub Megawati dan kutub Jokowi. Pramono bisa diterima semua kutub.
Pidato Pramono Anung juga bikin suasana dingin. Ia merendah. Ia mengibaratkan dirinya Goliat yang berhadapan dengan Raja David.
Menteri jadi calon gubernur tidak lagi baru. Semakin biasa. Apalagi ini Gubernur Jakarta –sekelas menteri juga.
Mantan menteri lain bahkan hanya jadi calon wakil gubernur: Dr Ir Suswono, menteri pertanian di era Presiden SBY. Ia kini jadi calon wakil gubernur Jakarta –pasangan Ridwan Kamil.
Maka tidak ada lagi skenario koalisi lawan bumbung kosong di Jakarta.
Tidak ada lagi kasak-kusuk untuk memenangkan bumbung kosong.
Kini pilihan tinggal ke Ridwan Kamil atau ke Pramono Anung.
Para pendukung bumbung kosong pun kehilangan bumbung.
Alias Golput.
Bumbung kosong justru terjadi di Pilwali Surabaya: calonnya hanya satu, Eri Cahyadi. Dari PDI-Perjuangan.
Semua partai mengusungnya. Orang Surabaya mulai realistis. Untuk apa habiskan uang melawan incumbent.
Lima tahun lalu orang sekaya Machfud Arifin pun gagal melawan ”incumbent” di Surabaya.
Padahal lawannya tidak sepenuhnya incumbent. Eri disebut ”incumbent” hanya karena wali kota Risma full dukung Eri. Dengan segala upayanya.
Belakangan memang sempat santer ada calon yang akan bersaing dengan Eri: Ahmad Dhani. Dari Gerindra. Pemusik terkemuka asal Surabaya.
Ia baru terpilih sebagai anggota DPR dari dapil Surabaya dan Sidoarjo. Ia punya modal suara. Tapi ternyata Gerindra juga mendukung Eri.
Maka keputusan terbaru MK itu seperti mubazir di Surabaya. Diturunkannya batas minimal perolehan suara partai tidak dimanfaatkan.
Pun PKB. Tidak berani keluar dengan calonnya sendiri.
PKB justru belajar berani di tingkat Pilgub Jatim: mendadak PKB maju dengan calonnya sendiri.
Sejak awal PKB sudah pasti tidak mau bersama Khofifah Indarparawansa. Pilih mendukung calon PDI-Perjuangan. Asal calon wakilnya dari PKB.
Maka santer isu Risma akan berpasangan dengan KH Mustamar, mantan ketua Pengurus Wilayah NU Jatim.
Ternyata PDI-Perjuangan menggandengkan Risma dengan Gus Hans. Banyak yang kaget: Gus Hans siapa. Masih sangat terbatas yang tahu siapa Gus Hans.
Gus Hans orang NU. Anak muda. Golkar sudah sejak dari bapaknya: KH As’ad Umar.
Kiai As’ad adalah pimpinan pondok ”bintang sembilan” Darul Ulum, di Peterongan, Jombang.
Darul Ulum tergolong kloter pertama ”pondok masuk Golkar”. Di tahun 1967. Bersamaan dengan pondok Pesantren Sabilil Muttaqin di Takeran, Magetan.
Gus Hans sebenarnya dekat dengan Khofifah. Ia tim sukses Khofifah di Pilkada yang lalu. Bahkan ia jadi juru bicara pasangan Khofifah-Emil Dardak.
Gus Hans lantas merasa ditinggalkan Khofifah. Setidaknya merasa diabaikan. Lalu gabung menjadi pesaing Khofifah.
Gus Hans yang kalem rasanya memang lebih cocok jadi pasangan Risma yang temperamental.
Dengan demikian suara NU akan terpecah ke Khofifah dan ke Gus Hans.
Tidak hanya itu.
PKB tiba-tiba mendaftarkan kadernya sendiri untuk calon Gubernur Jatim. Kader wanita. Namanya: Luluk entah siapa. Berpasangan dengan kader NU juga. Namanya: saya lupa.
Maka tiga wanita sama-sama maju bertarung di Jatim. Laki-laki Jatim rupanya merasa tidak ada yang berdaya. Semua hanya di posisi calon wakil.
PKB nekat di Jatim. Atau main-main. Di kandang, PKB berani main-main. Tidak di Jakarta.
Banten ada dramanya sendiri: Anda sudah tahu ”drama Airin” yang pandai memainkan gejolak perasaan partai-partai.
Drama lainnya terjadi di Tangerang Selatan.
Jateng juga punya daya tarik yang lain: mantan panglima TNI jadi calon gubernur. Yakni Jenderal bintang empat TNI Andhika Perkasa.
Lawannya: mantan Kapolda yang hanya bintang dua. Yakni Irjen polisi Ahmad Lutfi.
Ada juga sekelas menteri jadi calon wali kota. Di Yogyakarta.
Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo dicalonkan oleh PDI-Perjuangan di Pilwali Yogya. Ia orang hebat. Baik saat jadi Bupati Kulonprogo maupun saat menjabat kepala BKKBN.
Kalbar kali ini tumben: semua calon gubernur suku Melayu. Tidak perlu ada saingan keras antar suku lagi. Rumus lama di sana: bila Melayu punya dua calon Dayak yang menang. Bila Dayak punya dua calon Melayu yang menang. Suku Madura sering sebagai penentu.
Itu akibat Pilpres yang lalu. Suku Dayak yang selama ini identik dengan Partai Banteng kemarin pilih capres Prabowo. Hampir mutlak.
Kemarin saya bertemu orang yang belum lama ke rumah Panglima Jilah, tokoh Dayak Kalbar. Ia melihat di rumah Panglima Jilah ada dua ekor kuda yang gagah: itulah kuda hadiah dari Prabowo yang memang punya banyak kuda.
Di tiap daerah kali ini punya dinamikanya sendiri. Baru perusuh dari Lampung yang bercerita keunikan pilkada di sana. Kita tunggu dari daerah lain. Inilah era jabatan apa saja dianggap sama saja: yang penting punya jabatan. (Dahlan Iskan)