Dengan jalan kaki dari kelenteng di Jalan Lombok ke kelenteng Sam Poo Kong, saya ikut bangga pada kebersihan kota Semarang.
”Jalan-jalan di kota Semarang disapu tiga kali sehari,” ujar Novi Sofian, ketua panitia.
Seperti Surabaya. Umumnya warga Semarang tahu itu: sapuan pertama sangat pagi, pukul 04.00. Mereka bangga dengan wali kotanya. Sampai sang wali kota kena sapu KPK bulan lalu.
Arak-arakan ini diawali oleh barisan bendera merah putih. Lalu bendera-bendera kebesaran kelenteng Tay Kak Sie. Disusul barisan pembawa bendera kebesaran Cheng Ho. Di belakangnya lagi barisan pembawa senjata-senjata sakti.
Yang menarik barisan berikutnya: barisan sapu jagat. Semua personelnya membawa sapu. Ada ada sampah disapu. Itu melambangkan membersihkan semua rintangan dalam perjalanan rohani. Mungkin ada baiknya kalau sampah itu benar disapu, dimasukkan keranjang untuk dibuang.
Barisan sapu jagat ini dipimpin langsung oleh Tik-Toker terkenal Harjanto Halim. Pemilik perusahaan minuman Marimas. Ia teman dekat nh. Sering menyanyikan lagu NU Ya Lal Wathon. Ia juga menempatkan sinci Gus Dur setara dewa –dengan memajang jiamsi Gus Dur di altar sejajar dengan dewa lainnya.
Di acara malam sebelum arak-arakan Harjanto tampil sebagai salah satu pembicara. Dua lainnya Anda sudah tahu: Dr Novi Basuki yang selalu berkopiah dan anaknya Pak Iskan.
Yang membuat saya merasa kurang ”olah raga” di arak-rakan Cheng Ho ini adalah: perjalanan sering berhenti. Barisan liong di depan sana sering berhenti untuk beraksi –memainkan liong mereka. Muter-muter. Naik turun. Seolah liong besar itu sedang menunjukkan kekuatan magisnya.
Soal liong ini Tiongkok punya putusan baru: ”liong” tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi dragon.
Kesan yang muncul dari kata ”dragon” adalah menakutkan.
Tiongkok ingin kata ”liong” tidak perlu ada padanannya dalam bahasa Inggris. ”Liong” dalam term aslinya tidak menakutkan. Tidak boleh ditakuti. Justru harus disembah dan dicintai.
Berarti kata ”liong” juga tidak tepat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai ”naga”.
Mungkin seperti kata ”amuk” dalam bahasa Jawa. Tidak dikenal dalam term bahasa Inggris. Maka ”amuk” dalam bahasa Inggris menjadi ”amok”.
Agar bisa sekalian berolah raga maka saya putuskan: ketika liong lagi in action, saya tetap lari-lari kecil di tempat. Sambil dua tangan tetap memegang penarik tandu berisi abu kelenteng Tay Kak Sie.
Berhasil. Bisa sedikit berkeringat. Sejak itu, sejak arak-arakan masih di Jalan Wotgandul, saya putuskan untuk menarik tandu dengan lari kecil. Bukan jalan kaki.
Anggap saja ini Green Force Run sejauh lima kilometer seperti yang saya ikuti di Surabaya sebulan sebelumnya.
Di Jalan Wotgandul ini banyak kuliner. Masih disambung sampai ke Jalan Cemawis. Kopi Dharma yang legendaris itu ada di Jalan ini.
Kenapa arak-arakan ulang tahun kedatangan Cheng Ho dilakukan dari Kelenteng Besar Tay Kak Sie di Jalan Lombok ke Kelenteng Agung Sam Poo Kong?
Dua kelenteng itu punya hubungan khusus. Kelenteng Tay Kak Sie awalnya dibangun sebagai protes. warga Tionghoa Semarang marah atas putusan di zaman Belanda bahwa untuk masuk ke Sam Poo Kong harus membayar.
Maka mereka membangun kelenteng sendiri di Jalan Lombok. Dibuatlah dewa baru Cheng Ho. Didatangkan dari Tiongkok. Lebih 200 tahun lalu.
Ketika keadaan sudah berubah jadilah ada dua kelenteng yang sama-sama memuja dewa Cheng Ho. Mereka pun meyakini yang lebih ”sakti” adalah kelenteng Sam Poo Kong. Maka agar kesaktian dua kelenteng itu setara, dewa Cheng Ho yang di Jalan Lombok harus dibawa ke Sam Poo Kong. Setahun sekali. Istilah mereka untuk dilakukan ”charging spiritual” di situ.
Sepanjang lebih lima kilometer perjalanan arak-arakan ini banyak yang menawari saya minum. Mungkin mereka melihat kok saya lari kecil terus. Juga ditawari bakpao. Atau kue lainnya. Beberapa produk memang membagikan makanan-minuman secara gratis. Saya bertekad: baru akan minum air putih saja setiba di Sam Poo Kong.
Matahari mulai tinggi. Udara mulai panas. Keringat bercucuran. Halaman Sam Poo Kong padat manusia. Juga padat dewa-dewa yang dipikul di tandu. Sambil terus digoyang-goyangkan.
Saya tidak sampai selesai di situ. Saya harus buru-buru balik ke Surabaya. Tepatnya: harus buru-buru mampir ke Jalan Lombok. Untuk menuntaskan dendam pada lun pia.
Sial. Harus menunggu satu jam. Antre. Terlalu banyak order on line. Apa boleh buat. Waktu tidak cukup. Langsung kabur ke jalan tol. Sepanjang jalan tol itu ingatan saya ke dendam yang tak terbalaskan itu: lun pia. (Dahlan Iskan)