BAGI Anda yang sudah berumur 50 tahun sempatkanlah membayangkan lewat jalan tol baru Semarang-Sayung. Siapa tahu Anda tidak sempat lewat –tahun 2027 kelak.
Tentu Anda tidak akan merasakan beda dengan jalan tol lain. Tidak akan terasa bahwa di ruas 10 km itu fondasinya dari sembilan juta bambu.
Bahkan mungkin Anda sudah melupakan informasi unik itu. Perhatian Anda mungkin sudah beralih ke yang serbabaru di jalur itu. Anda tidak akan lagi melihat rumah yang tenggelam sampai atapnya. Tidak akan melihat lagi jalan penuh kubangan. Tidak akan merasakan sesaknya kemacetan di Jalan Kali Gawe. Debu di musim kemarau. Lumpur di musim hujan.
Pandangan Anda akan langsung ke bentangan laut Jawa di sisi utara. Tentu hanya ada air, air, dan air. Satu-satunya pandangan yang muncul dari permukaan laut hanyalah ini: makam.
“Itu makam Syekh Abdullah Mudzakir,” ujar Ir Yayan Suryanto, manajer operasi di lokasi proyek. Kang Yayanlah yang mendampingi saya ke lapangan. Ia orang Majalengka yang menjadi insinyur sipil saat menangani proyek pelabuhan Kali Baru Jakarta –yang juga berurusan dengan laut.
Kiai Mudzakir meninggal tahun 1950 ketika kawasan itu belum menjadi laut. Waktu itu makam tersebut berada di sebuah bukit kecil. Berarti penurunan tanah di sana sangat cepat.
Beliau dianggap sebagai wali. Masih terkait dengan pesantren terkemuka di luar kota Demak, yakni Pondok Mranggen.
Makam itu akan tetap begitu: terisolasi oleh laut. Yang ke makam akan tetap naik perahu. Tidak ada underpass untuk perahu lewat. Tentu tidak akan ada pula overpass.
Kalau saja jalan tol ini dibangun di utara makam, mungkin air di sekitar tanah makam akan menghilang. Fungsi lain jalan tol ini adalah tanggul laut. Semua yang di selatan tol tidak lagi tergenang.
Tapi kalau tol dibangun di utara makam biayanya bisa lebih mahal dari makam itu sendiri.
Lalu apa lagi yang bisa dilihat di sebelah utara tol?
“Akan ada rest area yang terindah di Indonesia,” ujar Pramusinto SE MM. Ia direktur keuangan dan manajemen risiko di perusahaan yang membangun satu ruas di tol Semarang-Sayung.
Perusahaan yang membangunnya adalah PT PPSD (Pembangunan Perumahan Tol Semarang Demak), anak perusahaan BUMN PT PP.
Kini Pramusinto lagi menempuh S3 di Universitas Islam Indonesia. Di bidang manajemen, khususnya di sumber daya manusia untuk jalan tol.
Waktu di SMPN 5 Yogyakarta, Pramusinto satu bangku dengan Anies Baswedan. Di SMAN 8 Delayota, Yogyakarta ia sekelas dengan Kapolri Jenderal Polisi Drs Listyo Sigit Prabowo, MSi.
Lalu ia kuliah S1 akuntansi di UII dan S2 MM di Universitas Andalas, Padang. Yakni saat ia mendapat penugasan PT Wijaya Karya di wilayah Sumatera. Proyek yang ia ikuti adalah pembangunan PLTU Ombilin, pembangunan jalan Solok, terowongan danau Singkarak, bypass Bukittinggi, rel kereta api Teluk Bayur – Sawahlunto dan pengendalian banjir di Padang. Termasuk proyek di Semen Padang.
“Kalau 10 doktor baru mestinya bisa lahir dari proyek ini. Banyak sekali penemuan baru di sini,” ujar Pramusinto. ”Kemampuan rekan-rekan kontraktor sekarang ini sudah selevel doktor. Mereka menemukan metode kerja baru, teori baru, alat baru, sistem baru,” ujar Pramusinto.
Rest area terindah itu nanti luasnya bisa lebih 50 hektare. Menjorok ke laut. Bisa merangkap hotel dan arena apa saja. Semoga tidak akan menjadi seperti umumnya rest area sekarang. Mulai lusuh. Kotor. Tidak terawat.
Lalu apa yang bisa dilihat di selatan jalan?
Ribuan hektare air genangan (rob) akan hilang. Tanah baru yang luasnya ribuan hektare muncul. Tanpa bangunan. Tanpa pohon. Tanpa pagar pembatas.
Ini perkara besar. Jangan sampai ribuan hektare tanah baru ini menjadi kawasan yang tidak tertata.
Selain itu akan ada dua kolam raksasa. Yang satu luasnya 70 hektare lebih. Satunya lagi sekitar 1000 hektare.
Fungsi kolam ini Anda sudah tahu: untuk menampung air dari dua sungai di kawasan itu.
Kelak kolam ini akan menjadi kolam air tawar. Bayangkan kekayaan baru apa yang akan muncul di dua kolam raksasa tersebut.
Rasanya Jakarta-lah yang sudah lama memimpikan punya tanggul laut. Ternyata Semarang Timur yang menyalip di tikungan.
Anda masih ingat rencana tanggul laut Jakarta itu. Anda juga tahu mengapa sulit dimulai.
Inilah yang disebut nasib. Tanggul laut Jakarta tidak memiliki faktor ”pemicu”. Tanggul laut Semarang Timur menemukan momentum yang sendiri.
Momentum kadang tidak seirama dengan perencanaan jangka panjang. Tidak ada rencana konkret tanggul laut di Semarang Timur. Tiba-tiba mulai dikerjakan.
Itu hanya karena momentum: ada proyek jalan tol. Bisa dikata tanggul laut tersebut berkah lain dari rencana jalan tol.
Ibarat Anda yang lagi mengincar gadis cantik, ternyata Anda sekalian dapat kakaknyi yang tidak kalah cantik. Lalu umur Anda lebih panjang. Anda tidak perlu lagi membayangkan jalan tol itu. Anda pasti sempat menikmatinya. (Dahlan Iskan)