Anda tidak perlu minta rincian IKN itu ibu kota Indonesia atau ibu kota Nusantara. Saya sulit memikirkannya.
Apakah kelak nama kota yang baru itu bernama Nusantara? Sehingga ibu kota Indonesia adalah Nusantara?
Siapa yang bisa menjawab?
Sejak lama memang ada rumor berbau klenik: nama Indonesia itu kurang hoki. Ada huruf ‘’n’’ di tengahnya. Perlu ganti nama –seperti bayi yang sakit berkepanjangan.
Ada yang usul nama baru: Asia Raya. Lebih gagah. Kesannya juga lebih besar. Lebih raya. Mumpung nama Asia Raya belum dipatenkan oleh siapa saja.
Tapi, yang banyak, minta di ganti dengan Nusantara. Atau Nuswantara. Lho kok ada ”n” lagi di tengahnya?
Beda. ”N” di tengah Nusantara sudah dibentengi oleh huruf ’’N” di depannya. Pakai ”N” besar pula.
Jangan-jangan memang ada maksud agar pelan-pelan nama Indonesia diganti Nusantara. Caranya perlahan. Bertahap. Kata Nusantara dipopulerkan dulu. Dipakai sebagai nama ibu kota dulu. Setelah terbiasa maka untuk Indonesia berganti ke nama Nusantara tidak mengagetkan lagi.
Anda sudah tahu: India juga berwacana ganti nama. Menjadi Bharat. Sekaligus akan resmi menjadi negara agama: Hindu. Dukungan internal untuk ganti nama itu sangat kuat. Pakai emosi agama.
Dukungan untuk berganti ke Nusantara rasanya juga besar. Setidaknya penentangannya tidak mendasar.
Indonesia adalah nama yang berbau kolonial –meminjam istilah Presiden Jokowi untuk istana Jakarta dan Bogor. Dengan istilah ”berbau kolonial” itu, presiden mendapat penerimaan luas akan perlunya istana baru, Istana Garuda di IKN.
Setidaknya orang NTB dan NTT akan langsung setuju. Nusa Tenggara telah menang beberapa langkah dari Nusantara. Menang duluan.
Sayangnya NTB dan NTT –yang sudah lebih dulu memakai nama mirip Nusantara justru tergolong bukan yang paling maju.
Klenik kadang-kadang memang penting. Terutama untuk membuat perasaan nyaman. Terutama perasaan orang yang percaya klenik. Kadang bisa terhindar dari ”disalah-salahkan” orang.
Misalnya cuaca IKN yang terang tanpa sedikit pun hujan kemarin. Upacara kenegaraan 17 Agustus pun bisa berlangsung lancar. Luar biasa. Padahal, menurut ramalan Google, seharusnya hujan.
Melihat terangnya IKN di siaran langsung televisi saya termasuk yang bangga. Di siaran langsung itu Istana Garuda tampak lebih megah dari yang biasanya beredar di medsos.
Kesan ”istana kelelawar” nya juga tidak sekuat anggapan di medsos. Apakah berarti kesan ”istana Garuda”-nya amat kuat? Juga belum.
Tentu kelak bisa saja disempurnakan. Sambil jalan. Agar kegagahan Garuda Indonesia bisa lebih terasa.
Skala fisik istana yang sangat besar memang bisa mengubah pandangan. Pun pandangan perencanaan.
Istana yang digelar di alam tentu bisa menimbulkan pandangan yang berbeda dengan ketika digelar di selembar kertas atau sejereng layar komputer.
Setidaknya Istana Garuda jauh lebih gagah dari istana yang disebut berbau kolonial itu.
Sejarah telah dibuat. Ibu kota Indonesia sudah dipindah. Oleh Presiden Indonesia Joko Widodo.
Maka secara iseng saya bertanya ke penumpang pesawat menuju Pontianak yang duduk di sebelah saya kemarin: di manakah ibu kota Indonesia?
Jawabnya: di IKN.
Bukankah IKN itu singkatan Ibu Kota Nusantara?
“Iya”.
Lalu, apakah nama ibu kota negara Indonesia?
“IKN,” jawabnya.
Kenapa Anda tidak menjawab: ibu kota Indonesia di Nusantara?
“Nusantara kan bukan nama kota. Nusantara kan sebutan untuk seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke”.
Sejarah sudah dibuat: ibu kota negara kita sudah dipindah. Ke sebuah kota baru. Entah apa namanya.
Apa namanya? (Dahlan Iskan)