Mempertahankan Warisan di Tengah Arus Modernisasi
IKNPOS.ID – Sape merupakan alat musik tradisional dari Kalimantan yang memiliki suara khas dan indah yang berasal dari petikan senar-senar kayunya.
Ya, alat musik ini merupakan bagian dari budaya masyarakat Dayak di Kalimantan yang biasa digunakan dalam berbagai upacara adat dan ritual keagamaan.
Namun, di tengah arus modernisasi dan globalisasi, sape menghadapi ancaman kepunahan.
Sejarah dan Asal-Usul Sape
Sape, atau sering disebut sampe, merupakan alat musik petik yang biasanya terbuat dari kayu dan memiliki dua hingga empat senar.
Alat musik ini berasal dari suku Dayak, khususnya suku Kenyah, di Kalimantan. Sape biasanya digunakan dalam upacara adat seperti Gawai Dayak dan upacara pengobatan tradisional.
Musik yang dihasilkan sape memiliki nada yang menenangkan dan sering kali digunakan untuk mengiringi tarian tradisional, seperti tarian Hudoq.
Selain itu, Sape juga digunakan untuk menceritakan kisah-kisah legenda dan mitologi yang diwariskan turun-temurun.
Ancaman Modernisasi
Dengan perkembangan teknologi dan arus modernisasi, sape mulai kehilangan tempatnya di hati generasi muda.
Beberapa faktor yang menyebabkan hal ini antara lain, masuknya musik modern seperti pop, rock, dan elektronik lebih menarik bagi generasi muda, membuat mereka cenderung meninggalkan musik tradisional.
Kurangnya pendidikan dan promosi tentang alat musik tradisional, termasuk sape, kurang mendapatkan perhatian di sekolah-sekolah. Promosi budaya tradisional juga kurang maksimal.
Perubahan gaya hidup yang semakin sibuk dan urbanisasi membuat masyarakat, terutama generasi muda, tidak memiliki waktu atau minat untuk mempelajari dan memainkan alat musik tradisional.
Upaya Pelestarian Sape
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, masih ada upaya untuk melestarikan sape. Beberapa komunitas dan individu berusaha menjaga keberlangsungan alat musik ini.
Satu diantaranya yakni Wakil Bupati Mahakam Ulu (Mahulu), Yohanes Avun. Ia melestarikan musik tradisional Sape dengan membentuk grup Sape Putra Daerah (GSPD) Mahulu.
Sebuah komunitas seni yang concern melestarikan ekstensi musik tradisionak khas Dayak tersebut.
GSPD Mahulu sendiri ia bentuk pada 15 Juli 2019 lalu. Latar belakang dibentuknya komunitas itu karena melihat eksistensi musik tradisional Sape semakin berkurang di tengah kemajuan zaman saat ini.
Putra asli suku Dayak Bahau ini memang memiliki hobi bermain Sape sejak duduk di bangku SD.
Namun kebiasaannya bermain Sape mulai jarang dilakukan saat dirinya berada dibangku SMP, hingga perguruan tinggi.
Ia mengaku, dulu saat dirinya masih berada di bangku SD, kebiasaan bermain Sape masih sering dilakukan oleh warga Mahulu. Terutama saat malam Minggu. Itu dilakukan di lamin adat maupun di masing-masing rumah.
Namun kebiasaan tersebut semakin berkurang, bahkan sebagian besar masyarakat Dayak juga tidak mengetahui cara bermain Sape, terutama kalangan pemuda.
“Saat itu saya melihat masih ada yang suka bermain Sape, itupun orang-orang tua. Saya rangkul mereka dan timbul niat untuk membentuk komunitas ini (GSPD),” kenang Yohanes Avun dikutip dari Nomorsatukaltim.
Yohanes Avun kini telah berhasil membentuk forum komunitas tersebut di 27 desa atau kampung se-kabupaten Mahulu.
Selain membentuk komunitas, dirinya juga memberikan bantuan Sape dan sound sistem hingga kostum komunitas GSPD.
“Sekarang sudah ada 27 kampung yang sudah kita bentuk komunitas. Masing-masing komunitas itu saya kasihkan bantuan sape, sound system dan baju komunitas,” ujarnya.
“Itu bukan bantuan dari pemerintah tapi murni bantuan dari pribadi saya,” sambungnya.
Terkait alasan Yohanes Avun ingin melestarikan Sape, lantaran ia lihat sudah banyak kesalahpahaman tentang fungsi dan karakter dari alat music tradisional ini.
“Kenapa saya niat bentuk komunitas sape ini, karena saya takut sapeq ini hilang. Musik sape ini bisa dimainkan menggunakan gitar, tapi kan alatnya bukan gitar,” terangnya.
“Jangan sampai pemahaman anak cucu kita nanti dikira musik sape ini alatnya gitar, padahal bukan itu, makanya kita terus kembangkan Sape ini melalui komunitas,” imbuhnya.
Sampai sekarang komunitas sape ini telah memiliki beberapa cabang, salah satunya ada di Samarinda. Komunitas GSPD yang ada di Samarinda dipimpin oleh seorang pastor. Yaitu pastor Moses yang bertugas di Gereja Katedral Samarinda.
Masa Depan Sape
Dengan dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah, komunitas, maupun individu, sape dapat terus hidup dan menjadi bagian penting dari identitas budaya Indonesia.
Pelestarian sape bukan hanya tentang menjaga alat musik ini dari kepunahan, tetapi juga tentang menghargai dan memelihara kekayaan budaya yang telah diwariskan oleh leluhur.
Terlebih, bumi Borneo tidak lama lagi akan menjadi tuan rumah bagi Indonesia.
Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang sudah di di depan mata menggambarkan bahwa kemajuan teknlogi dan modernisasi sudah sulit dihindari.
Mari kita bersama-sama menjaga agar suara indah sape tetap bisa dinikmati oleh generasi mendatang. (iknpos/nomorsatukaltim)