Anda sudah tahu apa itu Caltech. Yang di Pasadena itu. Tentu harus mampir dulu menguras pipa tua: di toilet Balai Kota –duh bagusnya bangunan lama kantor Wali Kota Pasadena ini.
Maka dua hari di Los Angeles kami sudah diajak Kevin keliling ke “Kebayoran Baru”, “Jatinegara”, “PIK”, “Alam Sutra”, “Bintaro” dan “Kemang”-nya Los Angeles.
Masing-masing punya Wali Kotanya sendiri. Termasuk Pasadena yang kayaknya seperti “Kemang”-nya.
Mereka juga punya peraturan sendiri. Pasadena, misalnya, menolak wilayahnya dilewati freeway–yang lalu-lintasnya boleh sampai 55 km/jam.
Pasadena ingin mempertahankan karakter kotanya yang tenang dan damai. Toh tidak ada kemacetan di situ –kecuali setahun sekali saat ada Parade Bunga Pasadena di setiap tahun baru.
Dibanding universitas besar lain, California Institute of Technology tidak besar. Caltech memang bukan universitas. Ia institut. Sejak didirikan tahun 1891 memang dimaksudkan sebagai research university.
Di Caltech mahasiswanya khusus melakukan riset. Kebanggaan jadi mahasiswa di Caltech tidak kalah dengan di Harvard, MIT maupun Stanford.
Bahkan di Caltech satu profesor hanya boleh mengajar dua mahasiswa. Jumlah mahasiswanya tidak banyak untuk ukuran Amerika: 2.500 orang. Lebih separonya program doktor.
Maka tidak heran bila Caltech sudah melahirkan 47 pemenang hadiah Nobel –bandingkan dengan seluruh Tiongkok yang hebat itu.
Satu Caltech melahirkan begitu banyak pemenang Nobel. Tiongkok belum satu pun menghasilkan ilmuwan kelas pemenang Nobel. Mungkin saja karena Tiongkok-modern memang baru seumur jagung dibanding Caltech.
Saya belum mendengar ada mahasiswa asal Indonesia yang pernah kuliah riset di Caltech. Tapi Kevin tidak hanya pernah mendengar. Ia tahu sendiri: ada.
Kevin kenal orangnya. Juga anak Semarang. Adik kelasnya di SMA Kolese Loyola. Namanya panjang. Ada unsur nama sekolahnya, ada unsur jurusan kuliahnya dan ada unsur gunungnya: Iganatius de Loyola Indi Argadestya.
Di Caltech Ignatius riset mengenai geologi, pergeseran lapisan bumi sampai ke soal planet Mars. Betapa hebat proposal Ignatius sampai mendapat persetujuan untuk riset master sembilan bulan di situ.
Sayang saya tidak bisa menemuinya: Ignatius lagi saya telusuri di mana alumni UPN Jogja itu sekarang: di Bern, Swiss.
Selama di Los Angeles saya juga pensiun sebagai petugas pemesan menu di restoran. Semuanya diserahkan ke Kevin. Paling tugas saya tinggal jadi penerjemah kalau suami Janet ingin bertanya ke Kevin tentang apa saja.
“Kita ini lucu,” kata suami Janet pada Kevin, “kita sesama Tionghoa harus pakai penerjemah orang Indonesia.”
Tidak begitu dua tahun lagi. Kevin sudah setuju usul saya untuk belajar Mandarin di Tiongkok. Ia sudah pinter. Sudah berpengalaman di perusahaan sekelas Walt Disney. Bahasa Inggrisnya sudah seperti orang Amerika. Pun bahasa Jawa Semarangannya: kental banget.
Ketika Janet dan suami asyik ngobrol dalam bahasa Mandarin, saya dan Kevin ngobrol dalam bahasa Jawa campur Indonesia. Apalagi kami berdua sesama suka sepak bola. Hanya tidak cocoknya: ia pemuja PSIS. Sedangkan saya, Anda sudah tahu.
Kalau Kevin sudah bisa Mandarin kelak saya pun pensiun jadi penerjemahnya. (Dahlan Iskan)