Secara keilmuan Tanri Abeng sudah di atas rerata doktor. Pun Kiai Asep. Tapi aturan pemerintah mewajibkan pimpinan perguruan tinggi harus bergelar doktor: doktor beneran, bukan doktor sekadar hadiah seperti honoris causa.
Pak Tanri maupun Kiai Asep sama-sama pendiri perguruan tinggi. Sama-sama punya misi tertentu. Pun sama-sama punya konsep akan ke mana perguruan tinggi itu.
Pak Tanri ke arah lahirnya manajer profesional, leader dan wirausaha. Kiai Asep punya misi melahirkan ulama intelektual.
Dua tokoh itu sama-sama merasa: diri merekalah yang tahu konsep operasional seperti apa agar misi mereka tercapai. Untuk itu harus terjun sendiri. Memimpin sendiri.
Bedanya: Kiai Asep sudah berpengalaman panjang membangun sekolah. Sejak tingkat SD. Sampai SMA. Di Surabaya dan di Pacet, Mojokerto. Sudah pula jatuh bangun. Sudah merasakan ditipu orang.
Akhirnya terbukti pesantrennya maju pesat. Sangat pesat. Santrinya lebih 20.000 orang. Lahan pendidikannya lebih 100 hektare.
Maka ketika Kiai Asep mendirikan perguruan tinggi, itu hanya seperti orang naik tangga ke yang lebih tinggi.
Di bidang politik Kiai Asep juga selalu sukses: dua kali menjadi tim Jokowi dan dua kali berhasil.
Ketika mendukung penuh Khofifah Indarparawansa, juga berhasil jadi Gubernur Jatim. Lalu berhasil menjadikan anak-anaknya dokter. Salah satunya jadi Wakil Bupati Mojokerto.
Kiai Asep juga berhasil ketika mendukung Prabowo di Jatim. Tinggal apakah Khofifah akan jadi gubernur lagi. Dan apakah anaknya yang Wabup itu, yang kini maju lawan incumben, akan berhasil jadi Bupati Mojokerto.
Tanri Abeng memang hebat. Tapi belum pernah berpengalaman mendirikan lembaga pendidikan. Ia langsung mendirikan Tanri Abeng University (TAU) di Ulujami, Jakarta.
Pun sebelum menerima mahasiswa baru di tahun 2012 Pak Tanri sudah lebih dulu membangun gedung-gedung universitas yang mentereng.
Sampai ke lapangan tenisnya yang berkualitas. Pak Tanri memang punya hobi main tenis sampai usia tuanya.
Nama besar Pak Tanri sangat diandalkan di TAU. Beliau yang jadi rektornya. Dulunya rektor dibantu oleh dua wakil rektor. Belakangan jabatan wakil rektor itu dihapus. Para dekan langsung berhubungan dengan Pak Tanri sebagai rektor.
Pernah, Pak Tanri mengumumkan akan berhenti sebagai rektor. Lalu akan diangkat seorang Plt Rektor. Disebutkan namanya: Prof Sudarsono. Tapi lama-lama tidak terdengar lagi kelanjutan soal pejabat rektor itu.
Ketika Pak Tanri meninggal dunia dua hari lalu jabatan rektor TAU kosong.
Rupanya membangun perguruan tinggi memang mudah. Yang sulit adalah mengembangkannya. Sebelum mengembangkan pun masih ada yang juga sulit: membuat daya tarik bagi mahasiswa baru.
Belakangan satu jurusan harus ditutup: tehnik elektro. Beberapa jurusan hanya memiliki mahasiswa kurang dari 20 orang. Yang laku –sayangnya– hanya jurusan komunikasi. Jurusan unggulan seperti tehnik dan bisnis kurang peminat.
Pak Tanri telah pergi. Sang istri, mantan dosen di situ, tidak banyak terlibat. Tapi masih ada putra pertama dari almarhumah isteri yang dulu: Emil Abeng.
Emil, anak nak muda itu, mungkin akan punya kiat baru untuk megembangkan warisan sang ayah. Kalau pun Emil belum doktor toh banyak doktor di dunia pendidikan yang hebat-hebat di luar sana.
Yang saya kaget: ada teman yang kemarin memberitahu saya. Ternyata ada nama saya di daftar dewan penasehat TAU.
Saya pun ingat: Pak Tanri pernah memberitahu saya untuk jadi salah satu penasehat. Lama sekali. Rasanya saat saya masih menjadi sesuatu dulu. Maafkan Pak Tanri, saya belum pernah memberikan nasehat apa-apa: murid tidak boleh menasehati guru. (Dahlan Iskan )