“Rumah saya 100 meter dari patung itu,” ujar Sudung, pensiunan kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta. Kini Sudung menjabat komisaris utama salah satu anak perusahaan Pertamina.
Sudung sekolah SD di Sibea-bea. Sebelum berangkat sekolah ia harus melepaskan 10 sapi milik ayahnya ke padang rumput. Tanpa baju, celana, dan alas kaki. Sorenya, ia harus mencari sapi itu ke sana kemari. Sapi tidak berkoloni. Begitu dilepaskan memencarberjauhan.
Ia lantas masuk SMA Katolik Santo Mikhael Pangururan. Masuk asrama. Kini Pangururan menjadi ibu kota Kabupaten Samosir.
Sudung sekeluarga memang Katolik. Tapi begitu kuliah hukum di Unkris Jakarta, ia bergabung dengan teman-temannya di Protestan. Apalagi istrinya juga Kristen.
Itu tidak menjadi hambatan ketika Sudung ingin agar patung Yesus tersebut bisa diresmikan oleh pemimpin tertinggi Katolik dunia, Sri Paus. Yakni saat Paus Fransiskus ke Indonesia tahun lalu.
Sudung menghubungi uskup di Medan, Uskup Cornelius Sipayung. Uskup lantas mengurus semuanya ke Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta.
Uskup Sipayung sendiri diam-diam melakukan perjalanan ke Sibea-bea. Mengecek langsung. Jangan sampai tidak sesuai dengan usulan. Bahkan sampai tiga kali ke Sibea-bea.
Akhirnya Sri Paus berkenan memberkatinya. Tentu tidak di Sibea-bea. Sudung diminta membuat miniaturnya. Ukuran 90 cm. Dibawa ke Jakarta. Diberkati di Jakarta.
Patung yang diberkati tersebut kini dipasang di depan patung tertinggi di dunia itu.
Ketika saya berfoto di depan yang tertinggi patung yang diberkati tampak sangat kecil di latar depannya. Lihat sendiri foto yang menyertai tulisan ini.
“Miniatur itu bikinan Ambarawa, Jateng,” ujar Sudung.
Di proyek Sibea-bea ini Sudung dibantu oleh seorang arsitek yang juga marga Situmorang: Daulat Situmorang. Masih keluarga Sudung. Lihatlah cara Daulat menata kawasan ini. Patung sendiri hanya salah satu daya tarik. Penataan lingkungannya, sampai pantai Tobanya, sangat indah. Menjadi daya tarik tersendiri. Ditambah latar belakang Danau Toba beserta bukit-gunung di sekitarnya.



