“Kami sudah beberapa kali rapat lintas kementerian untuk memperbaiki sistem pelaksanaan MBG agar aman dan sesuai harapan Presiden,” kata Mu’ti.
Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) per 4 Oktober 2025, tercatat 10.482 siswa menjadi korban keracunan MBG.
Angka ini meningkat sekitar 1.833 kasus hanya dalam kurun waktu seminggu, dari 29 September hingga 4 Oktober 2025.
Akademisi UGM Usulkan Perubahan Sistem
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Agus Sartono, menilai lonjakan kasus keracunan menunjukkan adanya persoalan sistemik dalam pelaksanaan MBG.
Ia menyebut rantai panjang pengolahan dan distribusi makanan dari satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) menjadi penyebab utama turunnya kualitas makanan.
“Belajar dari negara maju, program seperti MBG seharusnya dilaksanakan langsung melalui kantin atau dapur sekolah. Hal ini dapat memastikan makanan lebih segar, variatif, dan bergizi,” ujar Agus dalam keterangan tertulis, Jumat (3/10/2025).
Menurut Agus, pola pelaksanaan saat ini terlalu bergantung pada pihak ketiga, sehingga kontrol terhadap kualitas dan kebersihan makanan menjadi lemah.
Ia menilai, pendekatan school kitchen bisa menjadi solusi konkret agar program MBG berjalan efektif, aman, dan sesuai standar gizi nasional.
Menuju Program MBG yang Aman dan Berkelanjutan
Wacana pengelolaan MBG oleh sekolah sendiri kini menjadi sorotan publik. Pemerintah diminta tidak hanya fokus pada distribusi, tetapi juga pada standar gizi, kebersihan, dan keberlanjutan program.
Dengan keterlibatan langsung sekolah, program makan bergizi gratis diharapkan bisa lebih transparan, efisien, dan menekan risiko insiden seperti keracunan.
Namun, hal ini tentu perlu didukung dengan kesiapan fasilitas, sumber daya manusia, dan pengawasan ketat dari pemerintah pusat.
“Intinya bukan hanya soal memberi makan, tapi memastikan makanan itu benar-benar menyehatkan dan mendukung tumbuh kembang anak-anak Indonesia,” tutup Abdul Mu’ti.