Ilmu modern di bidang perlogoan mengajarkan: diapakan pun sebuah logo akan terlihat jelas seperti aslinya.
Cobalah gambar gajah putih-hitam itu Anda kecilkan sekecil-kecilnya: akan terlihat kepala gajah. Coba pula Anda beri background seketemu Anda. Ia tetap kepala gajah. Anda ganti apa pun background itu gambar gajahnya tidak terpengaruh.
Kelihatan sekali perancang logo gajah PSI adalah seorang seniman logo. Bukan seorang peramal nasib.
—
Di mata peramal nasib, logo baru PSI itu pertanda sial melulu: antara kepala dan leher seperti gajah yang disembelih. Lalu tulisan PSI-nya seperti sedang diinjak gajah.
Istilah “sembelih” dan “diinjak gajah” itu, misalnya juga muncul dari Chandra Adiwana. Ia ahli pembuat logo dengan latar belakang ilmu keberuntungan. Ia juga pernah meramal beberapa partai tidak lolos ke parlemen. Dan yang ia ucapkan itu jadi kenyataan.
Begitulah dunia baru. Logo lama dikritik habis. Logo baru juga dikritik. Di zaman ini apa saja dikritik. Seandainya tanpa logo pun akan tetap dikritik.
Gajah hanyalah logo. Seperti juga amplop hanyalah kulitnya. Yang penting kan isinya. Dan di dalam PSI ada isi yang lebih berharga dari isi sebuah amplop: nama Jokowi. Plus Kaesang Pangarep. Plus Gibran Rakabuming Raka.
Mungkin PSI ingin bikin sejarah: siapa tahu jadi partai pertama pengusung nama belakang ‘Indonesia’ yang berhasil masuk Parlemen.
PDI-Perjuangan, Golkar, Nasdem, PKB, PAN, PPP, PKS, Demokrat, Gerindra –semua tidak pakai nama Indonesia di bagian belakang nama mereka. Semua yang pakai nama belakang ”Indonesia” telah gagal.
Gajah kan punya kelebihan: telinganya lebar. Pertanda mampu banyak mendengar. Terutama mendengar keluhan dan penderitaan rakyat –dengan tetap mendengar keluhan oligarki.(Dahlan Iskan)