KEPALA NEGARA mana pun kini takut ”dizelenskyykan” oleh Donald Trump. Itu pula yang menghantui suasana menjelang pertemuan tingkat tinggi antara perdana menteri baru Kanada, Mark Carney, dengan Trump Selasa kemarin.
Carney selamat. Di pertemuan itu Carney tidak diperlakukan seperti Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Padahal Trump begitu sewot pada Kanada: soal perdagangan; soal imigrasi; soal “kesombongan” Kanada di depan juara sombong sedunia.
Apalagi Trump juga dibuat kesal hasil Pemilu Kanada bulan lalu: jago Trump dikalahkan Carney. Padahal Trump ingin partai konservatif yang menang di Kanada.
Karena itu ketika Carney sudah menggantikan Perdana Menteri Justin Trudeau tiga bulan lalu, Trump belum mau bertemu. Ia menunggu hasil Pemilu. Toh Carney akan kalah.
Ternyata Carney menang –antara lain justru karena rakyat Kanada marah kepada Trump. Jauh sebelum perang tarif dimulai, pamor partai Liberal sebenarnya sudah turun drastis. Selama Liberal berkuasa, ekonomi Kanada datar: hanya tumbuh 1 persen selama 10 tahun terakhir.
Hanya gara-gara Trump ingin menjadikan Kanada sebagai provinsinya yang ke-51, partai konservatif yang sudah ”menang di depan mata” tiba-tiba kalah. Nasionalisme mengalahkan kesulitan ekonomi.
Trump masih realistis. Ia akhirnya setuju bertemu Carney. Lokasi pertemuannya sama dengan saat mem-bully Zelenskyy: di depan perapian Gedung Putih.
Carney bukan Zelenskyy. Ia khas seorang banker: elegan, intelektual. Pakaiannya juga bukan kaus seperti Zelenskyy. Carney pakai pakaian bank: jas lengkap dengan dasinya. Carney memang pernah menjabat Kepala Bank Sentral Inggris dan Bank Sentral Kanada.
Sebagai orang dengan budaya Inggris, kata-kata Carney bersayap penuh makna. Bertolak belakang dengan kalimat-kalimat vulgar yang biasa diucapkan Trump atau Zelenskyy.
Misalnya ketika Carney mengemukakan soal tarif: “Bapak Presiden adalah negosiator ulung. Dalam negosiasi salah satu kuncinya adalah menyusun ketentuan-ketentuan”.
Halus. Elegan. Padahal maksudnya: jangan ngawur-ngawuran.