“Usaha dan lahan inilah yang kami pertahankan. Tanah ulayat masyarakat adat Toraja rumpun Pong Salamba,” ucap Harniati.
Diungkapkan Harniati Rumpun Pong Salamba memliki lahan di Morowali seluas 8.636 hektare sesuai surat keterangan yang diterbitkan Kepala Desa Mahalona pada 1998.
Bahkan Surat Kepala Desa Mahalona juga mengonfirmasi sejarah terciptanya pemukiman dan usaha perkebunan damar Pong Salamba di Langtua.
Diungkapkannya, memang secara administratif, lahan tersebut berada di batas antara Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Selatan (Sulsel).
Menurut Harniati, di Sulteng ada sekitar 4.000 hektare lahan Pong Salamba. Tanaman damar yang banyak dijumpai seperti di Desa Ululere menjadi bukti atas penguasaan mereka. Makam Pong Salamba juga berada di sana.
Aktivitas PT Vale Indonesia bikin cemas
Suara Harniati tiba-tiba terhenti, ada kecemasan menyusup ke dalam dadanya-sebelum melanjutkan cerita soal aktivitas PT Vale Indonesia Tbk.
Lahan yang mereka kelola kini masuk area konsesi Vale. Kehidupan rumpun Pong Salamba kian terancam seiring eksploitasi nikel secara besar-besaran di Morowali.
Tercatat, PT Vale Indonesia memiliki konsesi seluas 22.699 hektare di Sulteng dan 70.566 hektare di Sulsel dalam naungan Kontrak Karya (KK).
Warga tak pernah tahu bagaimana izin itu terbit. Padahal lokasi di mana izin diberikan adalah hak ulayat komunitas Pong Salamba.
Kata Harniati, Vale belakangan mulai mewanti-wanti dan melarang rumpun Pong Salamba membuka lahan warisan mereka untuk bercocok tanam.
Namun, masyarakat adat menolak dengan lapang dada tanah waris dicaplok perusahaan, meskipun suatu saat nanti mereka bisa saja terusir.
“Kami tidak melihat niat baik pemerintah maupun perusahaan untuk menyelesaikan persoalan ini. Tanah kami tiba-tiba saja diserobot tanpa sepengetahuan ahli waris Pong Salamba,” tuturnya.
Sementara Head of Corporate Communications PT Vale Indonesia Tbk, Vanda Kusumaningrum, mengatakan pihaknya selalu menghormati hak masyarakat dan mengedepankan dialog dalam menyelesaikan isu lahan.