Ia menambahkan, kudapan ini sering disajikan pada acara besar seperti resepsi pernikahan, perayaan keagamaan, dan buka puasa bersama, yang membuatnya menjadi simbol persatuan di masyarakat Samarinda.
Sarip juga membagikan cerita menarik tentang perjalanan amparan tatak yang dijual oleh Hajjah Hatim, seorang pedagang dari Samarinda Seberang yang menyeberang menggunakan tambangan ke Samarinda Kota di tahun 1970-an untuk menjajakan kue tersebut.
Setelah presentasi oleh kedua penulis, moderator Theo Nugraha memberikan kesempatan kepada para ahli untuk memberikan masukan terhadap naskah-naskah ini.
Pereview Sisva Maryadi dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV Kaltim-Kaltara dan Priangga Wicaksana dari Disdikbud Kaltim turut memberikan saran untuk memperkaya usulan ini.
Dengan adanya dukungan ini, perahu tambangan dan amparan tatak diharapkan dapat diakui sebagai bagian dari Warisan Budaya Takbenda Indonesia, yang memperkuat identitas budaya Kalimantan Timur dan memperkenalkan kekayaan budaya Samarinda kepada masyarakat luas.